Fenomena Gambar Indah di Layar TV Anda (2)
Oleh Indra Herlambang
Sekarang ini, ada pertanyaan lebih penting yang harus segera dijawab sebelum terjadi pertumpahan darah lebih kolosal antara para pelukis seluloid dan para penjaga moral manusia Indonesia. Perlukah sebuah ungkapan ekspresi jiwa (khusus dalam hal ini karya sinema) dibatasi demi melindungi penikmatnya? Kalau memang perlu, bagaimana sebenarnya tata cara paling tepat untuk menyensornya?
Ada beberapa cerita menarik yang sempat saya dengar soal pemotongan pita film di negara tercinta kita ini. Seorang sutradara muda berbakat pernah curhat kepada saya soal satu dialog dalam filmnya yang harus dipangkas karena di dalamnya terdapat tiga kata anjing (tentunya sebagai bentuk makian, bukan semata sebagai kata benda apalagi yang diikuti kata lain seperti pudel atau chihuahua). Ia diharuskan memilih salah satu kata anjing yang mesti dipotong. Karena seharusnya hanya boleh terdapat dua kata makian sama dalam sebuah kalimat!
Anda bingung? Saya apalagi. Sutradara malang ini kemudian berseloroh santai menghadapi dilema tersebut; Tahu begitu mendingan saya bikin dialog dengan kata anjing, bangsat, dan bajingan saja, ya?
Seorang pekerja film lain mengeluhkan karya pendeknya yang habis dibabat akibat menampilkan adegan yang menurutnya sudah jauh lebih jinak ketimbang kenyataan yang ada: pergaulan seks bebas anak muda di sebuah kota. Adegan yang dipotong tidak hanya yang jelas-jelas kontroversial seperti dua tubuh muda yang bersatu sesukanya, tetapi juga penggambaran sosok manusia tertentu yang melakukan kegiatan tertentu (sedikit petunjuk, melibatkan asap rokok, perempuan dan penutup kepala). Alasan yang membenarkan sensor bekerja di gulungan pita film ini? Karena tidak mungkin ada manusia seperti itu.
Hm… sekarang mana yang benar? Alasan yang diajukan para penggunting bisa jadi terdengar absurd dan tidak masuk akal, tetapi mengingat masyarakat kita masih sangat lugu dan lucu, dan begitu labil plus sangat mudah terprovokasi hal sekecil apapun (siapa di antara Anda yang masih bisa dengan tenang membeli susu kaleng untuk bayi?), bukankah memang seharusnya ada yang menjaga agar keadaan tidak semakin ruwet?
Cukup deh masalah kebutuhan pokok dan bertahan hidup dan tetek-bengek lainnya bikin pusing kita semua, apakah perlu lagi ada yang menambah panjang deretan pikiran kita karena sebuah film menyinggung sebagian orang dan membuat mereka memusuhi sebagian orang lainnya? Lagi-lagi argumen ini merendahkan tingkat kedewasaan kita semua. Tetapi kenyataannya memang begitu bukan?
Sementara di sisi lain, saya tahu sekali bagaimana menyebalkannya ketika ekspresi dibatasi. (Bahkan keponakan saya pasti sangat memahami hal ini, terutama ketika ia saya marahi gara-gara mencoreti dinding kamar saya dengan lukisan mahakaryanya). Kalaupun harus dipagari, semua seniman pasti ingin mendapat material pagar yang benar-benar jelas beralasan. Kenapa harus pakai kawat mengilat dan bukan besi butut? Kenapa harus dibeton setinggi lima meter dan bukan dikelilingi kayu setinggi lutut? (Saya mulai meracau, sungguh perumpamaan bodoh tak berpoin).
Bagaimana dan mengapa, kita harus membatasi aliran energi kreatif yang keluar tak terbendung dari dalam diri agar tidak menyakiti atau melukai siapapun harus ada kejelasannya. Harus ada cara terbaiknya. Ini yang lebih seru untuk dicari bersama.
Anyways, sesungguhnya saya kangen juga melihat gambar indah mentari tenggelam berlatar suara desah napas penuh birahi atau kecipak lembap bibir-bibir yang bersentuhan. Tidak ada adegan film yang lebih lucu ketimbang itu. (*)
Penulis: Aktor dan presenter
Comment