MEDIAWARTA, JAKARTA – Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan bertujuan untuk memperkuat penerimaan negara tanpa membebani daya beli masyarakat.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti, menegaskan bahwa kenaikan tarif ini dilakukan secara bertahap guna meminimalkan dampaknya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi. “Barang dan jasa kebutuhan pokok seperti beras, daging, sayuran, pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum tetap bebas PPN atau dikenai tarif 0%,” ujar Dwi.
Selain itu, insentif PPN senilai Rp265,6 triliun telah disiapkan untuk menjaga stabilitas harga barang tertentu. Barang seperti minyak goreng curah, tepung terigu, dan gula industri tetap dikenai tarif 11%, dengan tambahan 1% PPN yang ditanggung pemerintah. Dengan kebijakan ini, pemerintah memastikan harga barang tetap stabil di pasar.
Kenaikan tarif PPN diproyeksikan hanya memberikan dampak kecil pada harga barang, dengan kenaikan harga rata-rata sekitar 0,9%. Pemerintah juga memastikan bahwa transaksi digital seperti top-up dompet digital dan uang elektronik tidak menjadi objek pajak baru. “PPN hanya dikenakan pada biaya jasa layanan, seperti biaya top-up yang naik dari Rp165 menjadi Rp180,” tambah Dwi.
Dampak Positif dan Dukungan untuk Masyarakat
Pemerintah optimis kenaikan PPN akan memberikan dampak positif bagi penerimaan negara, yang diperkirakan meningkat hingga Rp75,29 triliun pada 2025. Dana ini akan digunakan untuk mendukung program prioritas, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial bagi masyarakat kurang mampu.
Selain itu, pemerintah telah menyiapkan paket insentif ekonomi untuk menjaga daya beli masyarakat. Program ini meliputi bantuan beras bagi 16 juta keluarga, diskon tagihan listrik, subsidi pembelian rumah, serta insentif pajak dan jaminan sosial bagi pekerja sektor padat karya. Dukungan tambahan juga diberikan untuk sektor otomotif, perumahan, dan UMKM.
Berdasarkan pengalaman kenaikan tarif PPN dari 10% ke 11% pada 2022, dampaknya terhadap inflasi terbukti minimal. Inflasi tahun 2025 diproyeksikan tetap terkendali di kisaran 1,5% hingga 3,5%. “Kenaikan PPN kali ini diharapkan tidak mengganggu daya beli masyarakat, bahkan mampu mendorong penerimaan negara yang lebih optimal,” jelas Dwi.
Pengawasan dan Kebijakan Tambahan
Pemerintah juga menegaskan bahwa barang dan jasa premium yang dikenai tarif PPN akan dibahas lebih lanjut agar kebijakan ini tepat sasaran. Batasan omzet pengusaha yang dikenai tarif PPh final 0,5% tetap ditetapkan pada Rp4,8 miliar per tahun.
Langganan platform digital seperti Netflix, Spotify, dan YouTube Premium, serta pembelian pulsa, token listrik, dan tiket konser, juga bukan merupakan objek pajak baru. Tiket pesawat domestik tetap dikenai PPN sesuai aturan yang berlaku.
Dengan kebijakan ini, pemerintah menegaskan komitmennya untuk memastikan bahwa setiap kebijakan perpajakan tidak hanya mendukung penerimaan negara, tetapi juga menjaga stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat.
Comment