MEDIAWARTA, MAKASSAR – Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, menegaskan bahwa pengelolaan kawasan hutan di Blok Tanamalia yang saat ini dilakukan oleh PT Vale sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ia menyatakan bahwa PT Vale telah mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), sehingga secara hukum berhak melakukan kegiatan penambangan di wilayah tersebut.
Pernyataan itu disampaikan Prof. Abrar saat hadir sebagai Tenaga Ahli dalam rapat bersama Anggota DPRD Luwu Timur, yang membahas tumpang tindihnya izin usaha pertambangan di daerah tersebut. Rapat berlangsung pada Selasa (20/5/2025) di Ruang Banggar DPRD Luwu Timur.
Menurut Prof. Abrar, PT Vale juga menunjukkan itikad baik dengan menghormati keberadaan kebun masyarakat di Tanamalia. Hal ini mencerminkan upaya perusahaan untuk tetap menjalin hubungan harmonis dengan warga sekitar, meskipun secara hukum PT Vale tetap bisa menambang karena telah memenuhi semua persyaratan.
Ia juga menyarankan agar Kementerian Kehutanan turut turun langsung ke lapangan untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Menurutnya, PT Vale telah memenuhi kewajibannya sebagai peminjam kawasan hutan, dan saat ini perlu ada kejelasan mengenai mana yang lebih dulu ada—apakah kawasan hutan atau permukiman dan perkebunan warga.
“PT Vale punya hak untuk mengambil bijih nikel di Tanamalia karena sudah mengantongi izin. Tapi wilayah atasnya ini bisa saja tumpang tindih dengan kebun warga. Di sinilah otoritas kehutanan harus hadir memberikan kejelasan,” ujarnya.
Prof. Abrar juga menekankan pentingnya kewajaran dalam menentukan kompensasi.
“Tidak mungkin PT Vale memberikan kompensasi Rp1 miliar hanya untuk satu batang merica, atau Rp40 miliar per hektar. Semua harus melalui kalkulasi pertambangan yang masuk akal,” tambahnya.
Dalam forum tersebut, Mahading, anggota DPRD Luwu Timur dari Fraksi PDIP, melontarkan pertanyaan tajam.
“Prof, kalau negosiasi buntu—deadlock—karena tuntutan masyarakat tidak sejalan dengan kebijakan PT Vale, lalu perusahaan tetap pada pendiriannya, bagaimana posisi hukum masyarakat dalam situasi seperti itu?”
Menjawab hal itu, Prof. Abrar menjelaskan bahwa saat ini telah terbit Perpres No. 5 Tahun 2025 yang diketuai oleh Jampidsus. Tugasnya adalah menertibkan pihak-pihak yang masuk ke kawasan hutan secara ilegal. “PT Vale terlalu baik, mereka tidak ingin mengorbankan masyarakat meskipun secara hukum mereka bisa saja menindak. Karena itu, mari berdiskusi dengan mengedepankan nilai kewajaran,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa sementara ini, masyarakat yang tinggal atau berkebun di kawasan hutan dianggap sebagai penyerobot. Namun status tersebut masih bersifat sementara dan perlu ditelusuri lebih lanjut—kapan mereka mulai menempati dan kapan wilayah tersebut resmi ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Comment