MEDIAWARTA.COM, MAKASSAR – Tingkat belanja masyarakat pada saat Ramadan dan Lebaran, biasanya lebih tinggi ketimbang hari-hari biasa. Hal ini menjadi berkah bagi banyak perusahaan, khususnya pengusaha yang bergerak di bisnis ritel. Lonjakan permintaan untuk dua momentum ini tentu saja ikut dirasakan peritel lokal di Makassar.
Secara umum, lonjakan paling tinggi terjadi dua minggu sebelum Idul Fitri. Tentu saja, hanya berlaku untuk komoditas tertentu, mulai garmen dan konveksi, sembako, aneka minuman, biskuit dan kue kering, termasuk bahan-bahan untuk pembuatan kue.
Pemilik toko Nivada, Yenny Halim, mengungkapkan, selama Ramadan penjualan kue keringnya meningkat 50 persen jika dibandingkan hari-hari biasa.
“Permintaan terjadi untuk semua jenis kue kering, baik yang kiloan maupun yang stoples. Ada naik beberapa kali lipat dibandingkan hari biasa. Di awal Ramadan, sudah terjadi peningkatan, sekitar 50 persen,” ujarnya saat ditemui belum lama ini di Jalan Somba Opu, Makassar.
Ia menambahkan, permintaan kue kering biasanya mencapai puncak-puncaknya dua minggu hingga sehari sebelum Lebaran. Saat itu, barulah dapat ditakar berapa omset yang sesungguhnya.
“Pengalaman penjualan kue kering pada Ramadan tahun-tahun lalu, omset cukup lumayan, sekitar Rp 100 juta,” ungkap wanita yang telah menggeluti bisnis ritel selama 30 tahun ini.
Yenny menerangkan, beberapa minggu menjelang Ramadan, pihaknya telah menyiapkan komoditas untuk keperluan Lebaran seperti beragam jenis kue kering yang dipasok dari pengusaha lokal, home industry, dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
“Selama ini, kami bersinergi dengan beberapa home industry dan UMKM. Stok-stok kue kering harus sudah ada menjelang Ramadan dan Lebaran. Semua mitra yang kami gandeng tersebut adalah pengusaha lokal dari Makassar dan sekitarnya,” imbuhnya.
Adapun pembeli kue keringnya juga berasal dari Makassar dan sekitarnya. “Kebanyakan dari Makassar. Tetapi, banyak juga dari kampung di luar Makassar. Rata-rata, mereka membeli di toko kami untuk kemudian menjualnya kembali,” ungkapnya.
Dari sekitar 50 jenis kue kering yang dijualnya, Yenny mengatakan nastar adalah jenis kue kering yang paling diminati pembeli. Selain itu, kue durian, black forest, dan lain-lain. Sementara, harga yang dipatok juga beragam, mulai standar hingga eksklusif.
“Kue kering standar kami ada yang Rp 65 ribu per kilo. Untuk yang lebih mahal, ada yang Rp 150 ribu per kilo. Semuanya tergantung pilihan pembeli, karena bahan-bahan dasar pembuatan kue kering yang digunakan berbeda-beda,” runutnya.
Menyikapi peningkatan konsumsi, khususnya menjelang Idul Fitri, pemilik marga Tionghoa Lim ini, mengatakan tidak ada masalah karena pihaknya telah menjalin kerja sama yang baik dengan para pemasok. “Kami telah bekerja sama belasan tahun, saat kami merintis usaha penjualan kue kering sekitar 20 tahun,” akunya.
Yenny memaparkan, pihaknya juga memperbesar pasokan setiap ada lonjakan permintaan, empat hingga lima kali lipat dari persediaan normal. “Berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya, omset rata-rata naik sekitar 50 persen,” urainya.
Tidak hanya menjual kue kering, wanita yang gemar menonton film ini juga menjual produk konveksi seperti taplak meja, kain gorden, dan sejenisnya di tokonya. Adapun omset yang diperolehnya, juga tidak jauh berbeda apa yang diperolehnya pada produk kue kering.
“Omsetnya kurang lebih sama. Masyarakat biasanya menyandingkan pembelian kue-kue untuk Lebaran dengan fasilitas ‘table’ yang baru, termasuk taplak-taplak meja, sarung bantal sofa, dan lain-lainnya,” terang Yenny.
Terkait besaran profit margin yang ia dapatkan antara kue kering dan produk konveksi, wanita low profile ini menjawab persentasenya sama. Hanya, untuk margin konveksi lebih besar ketimbang kue kering.
Nisa Nasifah/Foto: Effendy Wongso
Comment