Pesan Sang Guru (Catatan Seorang Murid)
Oleh Ayatullah R Hiba
Alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Maraknya pemberitaan media massa mengenai kekerasan guru terhadap murid yang berakhir pada pemidanaan, membuat saya tertarik membahas interaksi guru dan murid dalam dialog kearifan. Tulisan ini tidak menempatkan diri di antara pro dan kontra terkait kekerasan terhadap murid di lingkungan sekolah. Tulisan ini hanya menceritakan kebajikan yang patut diteladani oleh para guru atas diri seorang Guru Besar yang dimiliki bangsa ini.
Suatu malam, tepatnya di malam ke 25 Ramadan 1437 H yang baru saja berlalu. Melalui percakapan grup WhatsApp alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH) Jabodetabek, saya terkesima dengan kalimat yang diungkapkan Guru Besar FH-UH, Ayahanda Prof. Laica Marzuki untuk para muridnya. Pesan itu tertulis sebagai berikut
“Hartelijk dank, Anakda semua.
Ada perbedaan guru silat dan guru sekolah. Guru silat di kala melatih murid-murid selalu mereserver jurus-jurus tertentu agar kelak tidak dibanting sang murid. Seorang guru sekolah mengajarkan segala ilmunya, murid-muridnya kelak melebihi dirinya. Seorang guru bangga jika sang murid melebihi dirinya.
Anakku semua,
Kalian bantinglah ayahandamu ini hingga terkapar. Ketika itu, ayahanda membanggakan kalian. (LM)”
Demikian untaian kalimat indah dari sang Guru. Sebuah keikhlasan yang lahir dari pemahaman bijak seorang Begawan. Interaksi cinta luhur dari Guru pada muridnya.
Apa yang disampaikan oleh Ayahanda Prof. Laica Marzuki di atas adalah keteladanan yang menggetarkan dari seorang guru. Ada kalimat bijak yang mengatakan “Mereka yang selalu dikenang di dunia ini adalah mereka yang menjadi penerang dalam hidup, panutan dalam berkata, dan contoh dalam bertahta. Merekalah orang-orang dengan karakter terbaik”. Demikian ungkapan yang pantas disematkan pada Beliau.
Mencermati pesan Ayahanda Prof. Laica Marzuki, mengingatkan kita pada Akademia. Sekolah yang didirikan di Athena, Yunani. Pendirinya adalah Plato, murid dari Socrates. Akademia menerapkan sistem pengajaran dialog antara murid dan gurunya. Dalam menemukan kebenaran, Plato tidak mendikte dan memaksakan kehendak kepada para muridnya. Ia tak alergi atas perbedaan pendapat. Tak ada raport, tak ada peringkat kelas, tak ada penilaian sistem kredit semester (SKS). Pendidikan saat itu mengedepankan kebijaksanaan dan kemerdekaan berpikir. Plato membimbing muridnya dengan kerendahan hati. Seperti halnya Ayahanda Prof. Laica Marzuki, Plato menghendaki muridnya jauh melampaui dirinya. Maka lahirlah seorang Aristoteles yang bijak. Berbeda pemikiran dengan Plato namun tetap dalam sikap hormat yang dalam kepada sang guru.
Akademia mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekedar untuk mendapatkan pekerjaan, tapi lebih dari itu, pendidikan adalah memanusiakan manusia, menjadi berguna dan memahami hakikat kehidupan.
Semasa kuliah di Fakultas hukum Unhas, dalam mata kuliah hukum pidana, kami diajarkan melihat unsur-unsur sebuah pasal agar dapat terpenuhinya pasal yang disangkakan/didakwakan kepada si pelaku. Berdasarkan hal itu, rasa ‘iseng’ saya tergoda untuk menafsirkan untaian kalimat ayahanda Prof. Laica Marzuki, yang terdiri dari unsur-unsur dan membentuk sebuah kesimpulan.
Maka mari kita urai indahnya keluhuran kalimat tersebut.
“Seorang guru sekolah mengajarkan segala ilmunya, murid-muridnya kelak melebihi dirinya” Betapa agungnya seorang guru yang mengajarkan segala ilmunya. Melepaskan segala ego dengan harapan para murid melebihi kemampuannya. Kalimat ini kemudian diperkuat dengan “Seorang guru bangga jika sang murid melebihi dirinya”. Kearifan sang Guru yang luar biasa menggugah. Harapan untuk dilampaui kemampuannya. Atas semua itu, bukanlah kekalahan yang beliau rasakan, tapi kebanggaan pada sang murid.
Selanjutnya perhatikan kalimat “Kalian bantinglah ayahandamu ini hingga terkapar”. Beliau menggunakan kata banting hingga terkapar dan tidak menggunakan kata kalahkanlah hingga terjatuh. Konotasi “banting” akan terlihat lebih keras dibanding “mengalahkan”. Kata “terkapar” lebih memilukan dibanding “terjatuh”. Orang yang jatuh (pengertian fisik) bisa dalam berbagai posisi tubuh duduk, telentang dan miring. Sedangkan terkapar adalah kata kerja kiasan yang berarti terbaring tidak diperhatikan atau tidak beraturan. Melalui kalimat ini, Beliau mengisyaratkan untuk melampaui keilmuannya meski Beliau harus nampak rendah di hadapan sang murid.
Untaian pesan tersebut kemudian diakhiri dengan kalimat “Ketika itu, ayahanda membanggakan kalian”. Kalimat penutup ini menunjukkan betapa mulianya hati seorang guru. Bahkan saat sang murid mengalahkannya, maka yang hadir adalah kebanggaan dan bukanlah kebencian. Pemaknaan pendidikan yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang tak terjebak pada ruang strata. Meruntuhkan menara ego dalam keikhlasan yang tiada batas. Beliau mewariskan bahwa seorang guru tidak harus berkata “aku lebih tahu” tapi sejatinya ia yang mengatakan “mari belajar bersama karena ilmu adalah penerang kita menuju kebenaran”.
Apa yang diucapkan oleh Ayahanda Prof. Laica Marzuki harusnya menjadi acuan oleh setiap guru di negeri ini. Memiliki Guru Besar dengan kearifan seperti Beliau merupakan anugerah bagi Fakultas hukum Unhas. Maka tak heran jika Unhas banyak melahirkan murid-murid yang berkualitas dan memiliki kedudukan penting di negeri ini. Sebutlah misalnya La Ode Muhammad Syarif, Wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dr.Hamdan Zoelva, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Dr. Syahrul yasin Limpo, Gubernur Sulawesi Selatan, Muhammad Ismak, Ketua umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Imran Nating, Sekertaris Jenderal Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Prof. Faisal Abdullah, Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga Kemenpora, Dr. Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan HAM, serta banyak lagi alumni yang patut mereka banggakan.
Kemunculan alumni Fakultas Hukum Unhas di tingkat nasional bukanlah untuk “membanting” dan membuat “terkapar” sang guru. Akan tetapi, seolah hendak berkata, “Ayahanda, inilah kami muridmu, semoga kami dapat membuatmu bangga”. Bahkan jikapun membanting dan membuat terkapar adalah perintah dalam makna sebenarnya, saya yakin, tak satupun yang akan melakukannya. Sebab mereka menyadari, pendidikan bukan hanya mengajarkan ‘terbang’, tapi juga mengajarkan etika dan kesopanan yang melebihi dari sekedar pengetahuan ‘terbang’. Itulah mengapa sekeras kerasnya didikan guru, ia akan mempercayai kemampuanmu, memberimu kompas dalam mengarungi kehidupan.
Maka benarlah apa yang dikatakan Dan Rather, “The dreams begins with a teacher who believes in you, who tugs and pushes and leads you to the next plateau, sometimes poking you with a sharp stick called “truth”. Mimpi berawal dari seorang guru yang mempercayaimu, yang menarik, mendorong, membawamu ke daratan tinggi, kadang ia menusukmu dengan tombak tajam bernama “kebenaran”.
Tulisan ini hanya sepenggal keharuan atas kebijaksanaan seorang guru. Mengajak untuk mengembalikan pendidikan pada tujuan sebenarnya. Memahami interaksi kasih sayang guru dan penghormatan para murid. Sebuah keluarga dalam hakikat kebenaran. Maka takkala Ayahanda Prof. Laica Marzuki memanggil kami dengan ungkapan “Anakku semua” tidak dengan panggilan “muridku semua”, kami sadar, bahwa kami memiliki guru sekaligus ayah yang mencintai kami.
Dipersembahkan untuk Ayahanda Prof. Laica Marzuki atas dedikasinya yang tak terhingga pada dunia pendidikan dan penegakan hukum di negeri ini.
Comment