Merah Harga Diri

Foto: Istimewa

Dan saya ternganga. Ketersimaan yang sangat membuat saya terlongong sesaat. Rudi? Seraut wajah tampan hadir begitu saja dalam benak saya. Saya ingat cowok yang bernama Rudi itu. Saya ingat konflik yang pernah terjadi antara Giyar dan Rudi sekitar tujuh bulan silam. Saya ingat bagaimana mesranya cowok itu menggandeng Lira, cewek yang saya kenal sebelumnya sebagai pacar Giyar. Di situkah sumbernya? Bara yang sudah mendingin kembali berkobar lagikah?

“Soal Lira lagi, ya?”

Pelan, Giyar menggeleng. “Saya sudah melupakan itu.”

“Lalu?”

“Dia merendahkan saya. Dia sengaja menginjak-injak harga diri saya di hadapan teman-teman. Dan saya tak bisa menerima itu!”

“Tapi bisa diselesaikan dengan baik-baik, kan? Penyelesaian yang tidak mengikutsertakan badik….”

“Tidak!” Giyar menyalip. Suaranya getas. Rahangnya mengeras. “Ini penyelesaian yang terbaik.”

“Ya, barangkali terbaik menurut kamu.” Saya mengangguk-angguk, berusaha mengikuti alun-gerak pikirannya seraya mendekatinya dari sisi lain. “Tetapi saya rasa itu bukan pilihan yang bijaksana.”

Giyar mengusap wajah, menghimpun napas dengan suara keras, lalu mengempaskannya dengan suara keras pula.

“Kamu tidak mengerti,” desahnya kemudian, kering.

“Saya mengerti….”

“Tidak, kamu tidak mengerti!” sanggah Giyar tergesa. “Dan kalaupun ada yang kamu pahami, itu terbatas pada permasalahannya saja. Kamu tidak mengerti, bahkan tak tahu sedikit pun apa yang sedang bergejolak di sini,” ditunjuknya dadanya. “Kamu tahu apa yang sedang saya rasakan sekarang? Sakit!”

Saya tercenung. Ya, apa yang saya ketahui tentang hati dan perasaan Giyar? Tetapi….

“Sejak kecil lingkungan mengajari saya untuk menempatkan harga diri di atas segala-galanya,” sahut Giyar setelah lama hening melingkupi kami.

Saya mengangkat muka.

“Sekarang Rudi sengaja menginjak-injaknya,” Giyar melanjutkan. Tatapannya melekati wajah saya. “Kamu tahu, saya tak mungkin bisa diam dan membiarkannya berbuat semau yang ia suka.”

Saya diam.

“Sudahlah,” ujar Giyar akhirnya. “Sekarang saya ingin kamu jujur. Kamu melihat badik itu?”

Sejenak saya ragu. Harus bagaimana?

“Tidak,” saya putuskan untuk menjawab demikian setelah berpikir sesaat.

Giyar menggerutu panjang. Lalu bangkit dengan gerak kasar, melupakan niatnya semula untuk mengambil koper tua. (Diam-diam saya bersyukur untuk itu). Diterjangnya kursi yang mengalangi langkahnya. Saya memandangnya terkesima. Demikian cepatnyakah emosi mengubah watak seseorang? Mana Giyar yang biasanya setenang telaga tanpa riak? Ah, tiba-tiba saja ia menjadi begitu asing di mata saya.

“Mau kemana, Yar?” tanya saya ketika melihatnya menarik handel pintu.

Comment