“Saya akan lihat sampai di mana keberaniannya,” kilah Rudi. Lalu ia berbalik, kembali ke gerombolan temannya.
Saya memaki keras-keras dalam hati. Asem! Demikian sulitnyakah menjadi insan yang bijak?
Raungan motor menggugah lamunan saya. Giyar turun dari motor, berjalan dengan langkah sembarangan, terus saja masuk tanpa menegur dengan satu huruf pun. Duh, sedemikian hebatnyakah Rudi mencabik-cabik harga dirinya hingga mengubah pula kebiasaannya?
“Fik!”
Saya menoleh mendengar panggilannya itu. Giyar muncul kembali di mulut pintu. Tegak dengan ekspresi wajah yang datar.
“Ada apa?”
“Pinjam stabilomu.”
“Ambil saja, di laci.”
“Tidak bisa. Lacimu terkunci.”
Napas saya mandek untuk sedetik. Refleks, tangan saya meraba saku celana. Ya Tuhan, mengapa saya lupa?
Sejak saya tahu Giyar punya rencana edan dengan badiknya, laci selalu saya kunci. Dan kuncinya menemani saya pula selalu. Bukan apa-apa, soalnya badik itu saya sembunyikan di situ, di antara tumpukan pernik-pernik ngilustrasi. “Tunggu, saya ambilkan.” Saya bangkit.
“Tidak usah. Biar saya ambil sendiri. Kuncinya mana?”
Oh, ini yang tidak saya inginkan. Terburu saya ke kamar, tak peduli dengan bias keheranan dari sorot mata Giyar.
“Ada apa sih?” ia bertanya tak mengerti.
“Tidak, tidak apa-apa,” saya jawab sekenanya. Laci saya kunci kembali. Mengantongi kuncinya, lalu mengangsurkan stabilo ke tangan Giyar. Ia menatap saya. Gurat ketidakmengertian membayang jelas di keruh matanya.
Saya ajak ia keluar, berusaha menghindari hal yang tak saya inginkan. Giyar mengangguk. Dan seulas senyum kecilnya sempat tertangkap mata saya.
***
Saya tertegun di bingkai pintu. Mengitari segenap sudut kamar dengan tatapan, saya merasa seperti ada sesuatu yang aneh. Dan kunci laci yang tergeletak begitu saja di atas meja membuat denyut jantung saya seolah berhenti. Ada yang bergemuruh hiruk di dada. Ada yang berdesing riuh di telinga. Tuhan, jangan-jangan….
Tergesa, saya membuka laci. Dan… badik itu telah tak ada. Saya seperti limbung tiba-tiba. Penglihatan saya mendadak berkunang-kunang. Tak ada dugaan yang lebih menakutkan dari ini: Giyarkah yang mengambilnya?
Secarik memo di atas meja menarik perhatian saya. Ada kalimat-kalimat pendek di situ, ditulis dengan stabilo merah kepunyaan saya. Tulisan Giyar.
“Fik, badik saya ambil. Tak usah mencari saya. Saya bisa jaga diri, kok”.
Comment