Di luar sudah terdengar gaduh rutinitas. Ada derit roda pada katrol timba parigi. Ada bunyi desau air dari kamar mandi berdinding lepa. Ada debum kasur yang ditepuk-tepuk karena baru saja malam tadi diompoli sang orok. Juga bunyi berirama kayuhan patah-patah becak gerobak pedagang sayur. Setiap melewati jalan becek di depan rumahnya, lelaki tua bermata cekung itu selalu kerepotan. Ia harus turun dari sadel. Mendorong becak gerobaknya, sesekali menghindari tanah yang berlubang-lubang dan berlumpur. Lalu setelah berhasil melewati jalan yang selalu menyusahkannya itu, ia akan mengumpat-umpat dengan kalimat yang tidak jelas. Tidak ada yang pernah mengerti. Termasuk perempuan gemuk penjual jamu gendong yang selalu berpapasan dengannya.
Atau, seorang perempuan muda dengan pakaian norak berwarna menyala separo terbuka yang baru pulang dengan mata sembap. Perempuan itu biasa dipanggil Tin si Kupu-kupu Malam. Tin adalah kependekan dari Tinneke. Sebetulnya bukan itu nama sebenarnya. Menurut orang-orang kampung di dekat Kalijodo, perempuan itu aslinya bernama Tinah Suhartin. Dari Jawa. Namun setelah beradaptasi dengan kehidupan perkotaan, seperti bunglon ia pun mengganti namanya. Juga penampilannya.
Dari jalan masuk sinar matahari itu pula ia dapat mengintip semua kejadian pagi yang menjadi ritual harian orang-orang pinggiran. Lubang sobekan pada dinding kardus rumah itu sebesar bola tenis. Samar masih tertangkap buram gambar dan tipografi iklan sebuah rokok di sampingnya. Ada tambalan poster di sana-sini. Wajah lama Michael Jackson yang masih berkulit hitam tampak menguning. Sementara gambar klasik pasangan bintang Nike Ardilla dan Hengky Tornando berlubang-lubang belel dan bolong tersundut api rokok.
Lubang itu tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Kalau malam, ia dapat mengintip bintang-bintang di langit. Untuk rutinitas malam orang-orang kampung, ia tidak dapat lagi melihat apa-apa lagi selain kekelaman. Tidak ada apa-apa selain suara kodok atau sesekali gonggongan anjing buluk milik seorang pemulung kayu peti asal Madura di kelokan gang sana.
Dari kejauhan terdengar pula ritme gerit roda besi pada sambungan-sambungan rel. Kereta api jurusan Jakarta-Depok seperti tidak ada habis-habisnya. Setiap lima belas atau dua puluh menit sekali bunyi itu mengirama pada gendang telinganya. Suara itu juga kadang-kadang diimbuhi dengan bunyi serak dari sebuah radio tua milik tetangganya yang berjarak dua meter dari rumahnya. Pukul enam pagi tepat, siaran luar negeri BBC London pasti terdengar dari gelombang pendek radio transistornya. Tetangganya itu seorang purnawirawan tentara pada zaman Orde Lama. Semua bunyi tersebut mengirama seiring dengan usianya yang jalan tiga belas. Dan menjadi litani pada kehidupannya yang tawar.
Ia sudah terbiasa dengan ritme kehidupan yang sekian belas tahun diakrabinya.
Comment