Siang tadi ia mendadak kedatangan tamu penting dari sebuah SMA yang berlokasi di Depok. Seorang siswi. Cantik. Kelihatannya anak orang kaya di kota. Sebetulnya, bukan sengaja. Secara acak siswi itu mendatangi rumah-rumah yang dianggap paling kumuh. Tidak layak untuk ditinggali. Termasuk di rumahnya.
“Kamu sendiri?” ia bertanya, membuka pembicaraan setelah gadis tiga belas itu hanya menundukkan kepala dengan rupa gelisah. Ia duduk di amben belakang, menghadap keluar berseberangan dengan sebuah kanal dengan airnya yang keruh.
“Orangtua kamu?”
“Bapak sudah meninggal, tiga tahun lalu. Ibu lagi kerja, nyuci baju di rumah ibu-ibu di kampung sebelah. Saya ditinggal sampai sore. Tidak boleh ikut. Mesti jaga rumah.”
Siswi itu mengerutkan keningnya. Melongokkan kepala ke arah dalam rumah kardus yang disinggahinya. Diedarkannya matanya ke sekeliling ruangan yang tidak lebih besar ketimbang toilet utama rumahnya di ‘Pondok Indah’. Ini tidak layak disebut rumah. Di mana-mana beterbangan lalat dari tumpukan sampah tidak jauh dari tempat ia sekarang berada. Ia sama sekali tidak menyebut kata ‘rumah’ untuk tempat ini. Karena menurutnya, rumah yang ideal adalah ‘home’. Dalam rumah kategori itu ada keharmonisan dan kedamaian suasana. Tidak seperti di tempat ini. Sangat jorok dan tidak sehat!
“Kamu tidak sekolah?”
“Tidak. Tapi, diajari baca sama Bang Lanang.”
“Siapa dia?”
“Kakak. Bang Lanang pernah sekolah. Tapi cuma sampai kelas lima SD. Tidak sampai tamat.”
“Kenapa?”
Gadis itu kembali menundukkan kepala. Binar di matanya meredup. Ia nampak gelagapan.
“Bapak keburu meninggal, Kak.”
Siswi itu terhenyak sesaat. Tapi diuraikannya sebuah senyum paksa, menggebah rasa iba yang menyeruak mendadak. Ia sangat prihatin dengan kondisi yang dilihatnya.
“Kamu boleh panggil nama saya. Wulan. Kalau kamu?”
“Lintang, Kak.”
“Hm, Lintang pernah kepikiran untuk sekolah tidak?”
“Ingin sekali. Tapi, biaya sekolah mahal….”
Wulan menghela napas. Kalimat lugu yang disampaikan Lintang barusan memang merupakan refleksitas kehidupan yang sebenar-benarnya. Bahwa betapa banyak kepincangan yang membumi di Nusantara ini.
“Lintang pernah menabung untuk dapat sekolah. Tapi….”
“Tapi kenapa?”
Gadis berambut kusam itu menggigit pelepah bibirnya. “Tapi Ibu marah. Ibu bilang, Lintang jangan berkhayal dapat sekolah. Karena untuk makan sehari-hari saja susahnya minta ampun.”
“Ibumu bilang begitu?”
“Ya.”
“Lintang kecewa?”
Gadis kecil itu menggeleng. “Tidak, Kak. Lintang sadar, setelah Bapak meninggal, untuk makan nasi bungkus saja kadang-kadang Ibu mesti mengemis di Mpok Minah, pemilik warung nasi di sebelah rumah.”
“Jadi, selama ini apa Lintang tidak punya cita-cita?”
Comment