Cerita dari Rumah Kardus

Ilustrasi cerpen Cerita dari Rumah Kardus. (Foto: Effendy Wongso)

Gadis itu tersenyum samar. “Cita-cita Lintang hanya satu, Kak. Pingin jadi orang kaya!”

Wulan meneguk ludahnya yang terasa memahit. Ini tugas paling berat untuk bahan makalah Lingkungan Hidup yang dipilihnya. Seharusnya ia tidak boleh terbawa perasaan begitu. Sebab hal itu dapat mengganggu konsentrasinya. Bahan tulisannya bakal tidak objektif lagi.

“Kak Wulan anak gedongan, ya?”

Wulan membeliak. Terkejut dengan pertanyaan dadakan dari Lintang. Ia kemekmek. Entah harus menjawab apa.

“Tidak juga. Tapi, keluarga Kak Lintang tidak susah-susah banget seperti….”

“Aduh, enak ya jadi orang kaya?”

“Ti-tidak selamanya….”

“Siapa bilang tidak enak? Buktinya Bapak meninggal karena ingin menjadi orang kaya….”

“Se-sebenarnya, bagaimana kematian Bapak kamu itu….”

“Persisnya, Lintang tidak tahu, Kak! Tapi, seminggu sebelum Bapak meninggal, Lintang pernah dengar Ibu bertengkar dengan Bapak. Kalau tidak salah dengar, Ibu bilang tidak setuju kalau Bapak ikut Kelompok Kapak Merah!”

Wulan nyaris kelengar. Kelompok Kapak Merah?! Bukankah….

“Dari Ibu, Lintang tahu kalau Kelompok Kapak Merah itu merupakan perkumpulan orang yang sering merampok dan memalak orang-orang kaya bermobil di jalanan.”

“Tapi, kenapa Bapak Lintang sampai terlibat?”

“Kata Ibu, Bapak terpengaruh. Waktu Lintang masih bayi, rumah gubuk kami di Kedungumbo kena gusur secara paksa. Bapak marah, menyimpan dendam sampai sekian tahun. Beserta beberapa sahabatnya, Bapak bergabung dengan Kelompok Kapak Merah. Bapak bilang sama Ibu sebelum meninggal, bahwa dia berjanji hanya akan merampok para pejabat korup saja, yang sudah diincar cermat jauh-jauh hari.”

“Tapi, pada kenyataannya Kelompok Kapak Merah itu semakin meresahkan masyarakat Jakarta, Lintang! Semuanya disikat. Tanpa pandang bulu. Bukannya hanya para pejabat korup saja.”

“Hal itu Lintang tidak mengerti, Kak. Tapi, kata Ibu, sampai di akhir hidupnya pun Bapak tidak pernah mengingkari janjinya. Setiap melaksanakan aksinya, Bapak selalu berusaha menghindari melukai, terlebih-lebih membunuh korbannya. Lagipula, uang hasil rampasan itu pun tidak pernah dipakai untuk berfoya-foya lazimnya perampok lain. Lintang pernah melihat sendiri Bapak membagi-bagikan jatah uangnya untuk tetangga-tetangga yang tidak dapat makan hari itu, kok!”

“Ta-tapi….”

“Bapak seperti Robin Hood ya, Kak?”

“Tapi….”

“Lintang tahu dari Bang Lanang, katanya, menurut koran-koran, apa yang dilakukan Bapak itu salah besar menurut hukum. Tapi, kalau begitu, kenapa tidak ada sanksi untuk para pejabat korup itu? Bukankah kejahatan mereka lebih besar ketimbang aksi Bapak yang dilakukan cuma demi sesuap nasi?”

“Ta-tapi….”

“Kadang-kadang Lintang tidak habis pikir, Kak. Dunia ini rasanya tidak adil. Bapak yang berjuang demi keluarga dan sesuap nasi, akhirnya mati mengenaskan, kena tembak polisi dalam sebuah aksinya. Sementara para koruptor itu melenggang bebas….”

Wulan terlongong mendengarkan ulasan gadis yang baru tumbuh remaja itu. Mulutnya seolah dibekap. Membungkam setiap perbendaharaan kalimat yang hendak terlontar. Ia mematung dengan beragam pikiran yang berkecamuk di benak. Tiba-tiba ia teringat kejahatan kerah putih yang terjadi di Tanah Air. Sebegitu parahkah penyakit lama bangsa besar ini?!

Ia menggigit bibir. Ini refleksitas!

Lalu gadis tiga SMA itu pamit undur. Ia berjanji akan datang esok. Bahan untuk makalahnya memang masih jauh dari cukup. Dirasakannya langkahnya memberat ketika melewati gugusan rumah kardus di perkampungan kumuh tersebut.

Hatinya gamang.

Comment