Kini, ia menancapkan aksi baru. Dasar senewen!
Bondan pengen mengadakan demonstrasi?” Aku menoleh ke Beno.
“Yah,” angguk Beno. “Tadi, tiba-tiba saja ia memanggil anak-anak dari kelas-kelas lain. Mengumpulkannya di kelas kita. Ipung dan Fredi membantunya. Kamu tahu kan, Ry, Bondan jago propaganda. Dia bilang, Kepala Sekolah kita yang baru sebulan bertugas itu diangkat lewat prosedur tidak sah. Dia juga tambahkan, Kepsek baru itu mata duitan. Ry, kita harus cegah niat sontoloyo Bondan.”
Aku tak sangka Bondan berpikiran sekotor itu. Menimang-nimang sedetik, lalu aku menyeruak. Hingga aku berada di dalam kelas.
“Bondan, turun!” bentakku. “Saya mau ngomong sama kamu!”
Bondan menyeringai ke arahku. Ia melompat ke lantai.
“Halo, Ketua Kelas kita. Mau bergabung?” Gayanya menyebalkan.
Aku menyeretnya ke pojok kelas. Menghindar dari keramaian.
“Kamu mesti punya alasan yang kuat kenapa mengajak demo, Dan?!”
“Aku rasa sudah jelas. Kita tuntut agar Pak Widnarjo, Kepsek kita sebelumnya, dikembalikan posisinya. Kepsek baru sekarang ini mutunya rendah!”
“Aku kenal Pak Sigit, Dan. Sekolah memilih dia karena dedikasinya yang tinggi. Ia justru lebih baik ketimbang Pak Widnarjo.”
“Problem kamu, Ry. Pokoknya aku dan lainnya menentang.”
Mendadak kepalaku pening. Tubuhku limbung dan tersandar ke dinding. Pada saat itu, sebersit adegan ringkas berkelebat di benakku. Aku melihat Bondan menerima segepok uang dari Pak Widnarjo!
“Ry, kamu kenapa?” tanya Bondan acuh tak acuh.
Adegan tadi sirna. Pening itu berangsur hilang. Aneh….
“Kamu disogok berapa sama Pak Widnarjo?” tebakku spontan, seolah aku yakin tebakanku jitu. Aku tatap Bondan setajam pedang.
Bondan tersekat. Gelisah. “Ki-kita bagi dua, Ry,” bisiknya.
“Kamu bubarkan anak-anak atau aku laporkan ke guru BP,” ancamku.
“Ry, aku cuma disuruh beliau. Dia kecewa atas penggeseran jabatan Kepsek itu. Dia dendam,” ujar Bondan tersendat-sendat.
“Itu fitnah, Dan. Kamu sama saja makan uang haram!” geramku.
Agaknya Bondan menyesal. “Bagaimana kamu bisa tahu imbalan itu, Ry?”
Aku mendengus. Menggeleng. Tuhan, apa lagi ini….”
***
Sorot mata mereka terpusat ke arahku. Berpuluh-puluh makhluk mengerikan itu mengelilingi. Di bawah keremangan suatu ruang. Mereka membisu, namun telingaku menangkap suara-suara riuh. Kupikir mereka menggunakan sistem komunikasi telepatis. Pesan-pesan disampaikan terselubung. Brain to brain!
Inilah bahasa paling rumit sekaligus runyam yang pernah kuketahui. Pakar linguistik atau etnologi pun mungkin kudu ekstra pusing menerjemahkannya. Tapi aku sedikit dan tak lancar mampu mengkamuskan pesan-pesan itu. Entah bagaimana aku bisa tahu!
Comment