Ironi Biru Sania

“Papi masih sayang sama Sania, kan?”

Lelaki separo baya itu menghentikan isapan cerutunya. Dibenarkannya letak kacamatanya yang agak melorot ke pangkal hidungnya. Menatap Sania sepuluh detik tanpa berkedip dari seberang meja makan.

“Tentu saja.”

“Ada apa memangnya, Sayang?” Mami buka suara, setengah mengunyah setengah bicara.

Sania mengaduk-aduk makanannya yang masih tersisa separo. Kepalanya terkulai, menatap dim sum kesukaannya tanpa selera.

“Sa-Sania….” Sania tidak dapat menahan airmatanya. Dia terisak. Tak lagi meneruskan makan siangnya.

“Kamu kenapa?” Mami berdiri dengan rupa cemas. “Sakit?”

Sania menggeleng.

Mami duduk kembali setelah berusaha menyentuh dahi Sania. Sementara itu Papi menjentikkan abu cerutunya ke asbak kristal berbentuk naga.

“Ada masalah di sekolah?” Mami bertanya, kali ini dengan nada cemas.

“Ti-tidak. Cu-cuma….”

Papi berdeham seperti kebiasaannya. Lagi-lagi dibenarkannya letak kacamatanya yang sama sekali tidak melorot.

“Pi, Mi, ke-kenapa Sania dilahirkan dengan rupa buruk…?!”

Sepasang suami-istri itu terhenyak, mendadak menjadi gagu. Entah harus ngomong apa!

“Pi, Sania butuh biaya buat operasi plastik (oplas) di Seoul. Papi mau membiayai Sania, kan?!”

Papi tegak seketika dari kursi, kali ini kacamatanya benar-benar melorot. Mami nyaris menjatuhkan sendok dan garpu dari genggamannya.

“Operasi plastik?!” Kalimat itu bersamaan terlontar dari Papi dan Mami seolah sedang membaca naskah skenario sinetron.

“Operasi plastik apa?!” Mami nyaris kesedak daging ayam.

“Untuk apa?!” Papi mengisap cerutunya panjang-panjang seperti asap cerobong pabrik.

Dua rentetan pertanyaan itu bernada bingung.

“Sania pingin mancungin hidung. Hidung Sania jelek. Pesek!” Airmata Sania semakin bergulir deras.

“Ah, siapa bilang?” Mami berusaha menenangkan dirinya, memaksakan secuil senyum mengembang dari bibirnya. “Sania cantik, kok.”

“Ta-tapi….”

Papi berdeham sebentar sebelum bertanya, “Sungguh Sania pingin operasi plastik, mancungin hidung?”

Sania mengangguk getas.

“Ikut Papi sebentar, ya?”

Lelaki separo baya itu tersenyum. Berdiri dan menggamit lengan Sania. Mereka berdua menuju garasi. Beberapa detik kemudian terdengar derum mobil.

Comment