Dialog Jingga Keping Hati

Foto: Istimewa

“Ng, kamu kan manis. Nah kalau kita-kita minum kopi pahit sambil memandang wajah kamu yang manis itu, kopi yang pahitnya kayak empedu sekalipun rasanya jadi manis, deh. Jadi hemat gula, begitu. Hehehe….”
“Sialan! Memangya aku gula, iya?”
“Aaauw. Hop, deh, Nes. Amplop, em, ampun. Tobat, deh!”
“Huh!”
“Sakit atuh…”
“Biar saja. Rasakan….”
“Uh, galak amat sih kamu, Nes.”
“Habis, kamu usil sih!”
“Cubit kok, kebangetan. Nih. lenganku sampai bentol kayak gundu.”
“Biar. Kayak bola tenis juga tidak apa. Itu cuma pelajaran kecil.”
“Yang pelajaran gedenya bagaimana?”
“Mau tahu?”
“Boleh, deh.”
“Jadi kamu ingin tahu? Asli?”
“Ng, anu Nes. Dibatalkan saja, deh.”
“Aku kira mau coba.”
“Lain kali saja. Eh, tetapi ngomong-ngomong, yang bagaimana sih contohnya pelajaran gedemu itu?”
“Mata kamu saya tonjok. Nah, itu!”
“Hii… sadis sekali.”
“Memang sadis, Dan. Supaya kamu jera. Sekalian tidak jelalatan seperti singa lapar begitu kalau lagi melihat gadis-gadis cantik.”
“Ih, bisa jadi Si Buta dari Gua Hantu, dong.”
“Ho-oh. Biar buta sekalian. Biar gadis-gadis itu hidup tenteram. Tidak diganggu playboy macam kamu, Dan!”
“Hahaha.”
“Kok, ketawa?”
“Habis, kamu cantik deh kalau sewot begitu.”
“Mulai kambuh, deh.”
“Memangnya aku mengidap penyakit apa, Non, hingga….”
“Ya, apa lagi kalau bukan penyakit PB?”
“PB itu apa sih, Nes?”
“Huh, dasar telat mikir! PB itu playboy. Penyakit playboymu kumat lagi.”
“Week. Biar begini-begini, tapi banyak yang naksir lho?”
“Itu karena kamu punya otak licik. Tukang gombal!”
“Gombal kan, termasuk salah satu profesi yang harus ditekuni.”
“Oh, begitu ya? Bagus, bagus!”
“Asli. Di zaman komputerisasi ini, semua pekerjaan harus dilakoni secara profesional. Apa saja. Ya dokter, menteri, tukang ojek, sampai pemulung juga. Pokoknya, semua harus profesional. Ya, termasuk gombal-gombalan inilah. Hehehe.”
“Dengan menambah jumlah koleksi lagu patah hatimu. Begitu, kan?”
“Hahaha.”
“E, eh, pakai acara ketawa-ketiwi lagi. Gokil!”

Comment