Refleks aku menoleh lagi ke pintu, memastikannya benar-benar tertutup. “Ari-Guruji-Ari… ini tidak wajar! Untuk memanggilmu saja aku bingung!” hardikku langsung.
“Kamu boleh panggil aku apa saja. Aku tidak akan bingung. Selama hati kamu yang memanggil, aku akan tahu siapa yang dimaksud.”
Refleks berikutnya, tanganku terangkat, menahan banjiran kalimat bijaknya. “Stop. Stop! Mari kita sama-sama menjadi Ari yang biasa, oke?”
“Memangnya ada yang kamu lihat tidak biasa?”
Ingin kucengkeram kerah bajunya, kuguncang-guncang hingga kepalanya membentur-bentur tembok seperti berlatih bola basket, dan kuteriakkan ini: aku kangen. Manusia yang paling kau rindu ada di hadapanmu dan tetap tak kau temukan apa yang kau cari. Tidakkah itu membuat siapapun ingin gila?
Tiga tahun yang lalu aku masih bisa mencengkeram bajunya, kadang kutanggalkan dengan sopan, kadang brutal. Tergantung besaran dan jenis energi yang hinggap, katanya menganalisis. Dan kami berdua selalu berkomitmen untuk pasrah dan manut terhadap apapun yang kami rasa.
Ari memang bukan manusia standar. Aku tahu itu sejak pertama kali kami bertemu, menyebutkan nama masing-masing, lalu tertawa berdua. Seketika sorot matanya menangkap sorot mataku, bersama kami tenggelam dalam sebuah lautan ingatan, dan dia bergumam, “Kita pernah bertemu.”
Waktu itu, aku tidak terlalu paham maksudnya, tapi kuputuskan untuk ikut arus, dan kubalas ucapannya dengan: “Apa kabar? Kemana saja selama ini?”
Kami tidak berpisah sedetik pun sesudah itu, dia bahkan bermalam di rumahku.
Ari melihat-lihat dan membolak-balik koleksi bukuku, dari mulai teknik melihat aura hingga perjalanan astral. Ia memainkan kartu-kartu Tarotku yang beraneka ragam, dari mulai Tarot malaikat sampai vampir. Ia memperhatikan dengan saksama bagaimana caraku melipat selimut dan membentangkan seprai di atas sofa untuknya tidur. Lagi, ia bergumam, “Kamu nyaris tidak berubah. Aku benar-benar pulang ke rumah.” Dan malam itu dia tidak jadi tidur di sofa. Sofa kastanya tamu, dan Ari bukan tamu. Dia penghuni rumah. Dia penghuni hatiku. Hanya saja dibutuhkan seperempat abad untuk ruang dan waktu mewujudkannya.
Ari selalu tertarik pada penyembuhan, di bidang itulah permatanya berkilau gemilang. Tangannya yang lentik dan halus telah mengubah hidup banyak orang. Hanya masalah waktu dia menjadi Ari yang sekarang. Sang Guruji. Dia bahkan mengubah namanya dengan bahasa Sansakerta yang tak bisa kuingat dan kuucap dengan baik.
***
Dulu, kami dikenal dengan sebutan Duo Plasenta. Ari-Ari. Yang satu menyembuhkan, yang satu merecoki. Dan mereka, para pemuja Ari si penyembuh, yang penampilannya santun-santun dan religius, memandang jengah kadang iri kepadaku, perempuan aneh bergaya Gypsy yang disayang Ari lebih dari apapun dan siapapun. Kalau jawara Gunung Kawi jimatnya gelang akar bahar, maka jimat Ari adalah aku. Jadi jangan pernah meremehkan penggembira yang satu ini, cibirku dalam hati.
Hingga tibalah momen yang mereka semua harapkan. Manusia tak ayal berevolusi, dan hidup ini tak pelak mengubah kanal alirannya-jika memang sudah waktunya. Dan Ari melakukan itu dengan tiba-tiba, seketika. Hari itu hari cinta, Valentine’s Day, dan aku dapat order baca Tarot selama dua hari di luar kota. Saat aku pulang, Ari sudah tidak ada. Tak ada satu pun barangnya yang tertinggal, ia mengemas semuanya rapi. Plasentaku, jiwaku yang terbelah, pergi tanpa pesan selain beberapa helai anak rambutnya yang menyisa di bantal.
Comment