Ketika makanan bukan lagi sarana untuk keberlangsungan hidup, tapi ajang koleksi kenikmatan indrawi, seluruh hewan di Bumi tidak akan pernah cukup. Refleks kita pasti menangkis ‘apa salahnya?’, ‘kalau ada uangnya kenapa tidak?’. Percayalah, saya pun masih menyimpan refleks yang sama. Gen primordial kita sebagai ras yang pernah berjuang antara hidup dan mati demi tidak kelaparan akan selalu mendorong kita untuk sebanyak mungkin menumpuk lemak dan protein.
Adalah tantangan untuk mengubah refleks primordial dengan sistem akal budi berbasiskan realitas baru, bahwa dunia hari ini sudah punya cukup teknologi untuk kita bisa bergizi tanpa membunuh hewan secara massal, dan dunia hari ini mengalami krisis karena banyak manusia sibuk menggemukkan hewan ternaknya dan lupa bahwa manusia lain kelaparan, bahwa dibutuhkan sepuluh kilo tumbuhan bergizi untuk menghasilkan satu kilo daging.
Amati kehidupan kita sendiri: apakah pola konsumsi kita masih dalam koridor butuh, atau sudah koleksi? Setelah itu, barulah lihat kehidupan sekitar kita, dan simpulkan dengan akal sehat: apakah masih etis untuk menerapkan pola koleksi? Jika tidak, sesuatu pasti bisa kita upayakan untuk mengurangi berlebihnya pilihan, membiarkan mereka yang betulan terbatas untuk melangsungkan hidup dengan jumlah pilihan yang layak. Jumlah yang perlu kita bagi.
Di sebuah food court dengan puluhan stan, saya memilih satu: stan nasi pecel dan gado-gado. Teman saya berkomentar: ‘Kasihan kamu, makannya cuma bisa itu.’ Padahal, meski pesan menu lain, ia juga sama-sama makan satu piring. Jika ada food haven yang menyediakan ribuan stan sekalipun, setiap pengunjung pada akhirnya memilih satu.
Malamnya, ketika iseng buka-buka kamus bahasa Latin (salah satu hobi saya memang mengoprek kamus), saya menemukan sebuah frase: Vegetus libertas. Artinya, hidup yang menguatkan budi. Saya jadi teringat makan siang tadi. Di food court itu, tanpa disadari, saya telah bertemu kebebasan dalam pembatasan. Hidup yang berbudi ternyata dapat dinikmati melalui sepiring nasi pecel.
Biodata Penulis:
Dewi Lestari, lengkapnya Dewi Lestari Simangunsong, lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Sebelum Supernova keluar, tak banyak orang yang tahu kalau penulis yang akrab disapa Dee ini telah sering menulis. Tulisannya sudah tak terbilang diterbitkan berbagai media nasional. Salah satu cerpennya berjudul ‘Sikat Gigi’ pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter, sebuah media berbasis budaya yang independen untuk kalangan sendiri. Pada 1993, ia mengirim tulisan berjudul “Ekspresi” ke majalah Gadis yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis. Ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul “Rico the Coro” yang dimuat di majalah Mode. Bahkan ketika masih menjadi siswa SMA 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan untuk buletin sekolah. Saat ini, Dewi Lestari merupakan salah satu sastrawan terkemuka yang dimiliki Indonesia. Novelnya, Supernova juga merupakan salah satu karya paling fenomenal yang pernah ada di Tanah Air.
Comment