MEDIAWARTA, JAKARTA – Deklarasi pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN) yang tidak melibatkan mitra koalisi menimbulkan kegaduhan politik dalam beberapa hari terakhir. Namun sikap PKS yang menghormati keputusan Nasdem serta menghargai Demokrat yang memutuskan keluar dari koalisi dinilai pengamat komunikasi politik dari Universitas Islam Bandung, Muhammad Fuady sebagai etika komunikasi yang elegan dan berkelas. Bahkan menurutnya, sejak 2009 PKS telah menjadi role model komunikasi yang santun dalam menghadapi polemik koalisi.
“Cara PKS merespon manuver Surya Paloh yang menggandeng Cak Imin cukup elegan. Etika komunikasinya berkelas, tidak berkoar-koar ke media dengan isu pengkhianatan. Ini yang barangkali perlu dicontoh partai lain sehingga demokrasi kita sehat,” tuturnya saat dihubungi pada Senin (4/9).
Berbeda dengan Demokrat yang sangat reaktif, tuturnya, PKS menyatakan menerima keputusan mitra koalisi. Meski keputusan menjadikan Cak Imin sebagai Cawapres terasa mendadak, PKS sejauh ini legowo terhadap keputusan tersebut.
“PKS memang memiliki DNA untuk mengikuti arus utama partai koalisi, seperti yang pernah terjadi pada 2009 saat Susilo Bambang Yudhoyono memilih Boediono sebagai Cawapres dibanding Hidayat Nur Wahid di menit-menit terakhir pendaftaran,” ujarnya.
Fuady mengatakan bahwa fenomena pengkhianatan atau perasaan dikhianati oleh kawan politik kerap terjadi. Pada 2009, Hidayat Nur Wahid digadang-gadang sebagai Cawapres dari SBY. Hubungan Demokrat-PKS sedang mesra-mesranya, hasil survey elektabilitas duet keduanya juga menjanjikan.
“Duet SBY dan HNW ditengarai akan menjadi kenyataan. PKS kecele. Ternyata SBY lebih memilih Boediono. PKS tetap berkomunikasi dengan santun, tidak reaktif, tidak menunjukkan perasaan dizalimi, apalagi menuding SBY berkhianat. Mereka legowo dan tetap berada dalam barisan mendukung SBY-Boediono,” ungkapnya.
Jadi, katanya, fenomena memilih kawan atau meninggalkannya adalah hal yang biasa terjadi. Bahkan “fenomena pengkhiatan” itu dapat dinilai sebagai sebuah kemampuan menciptakan momentum untuk memenangkan kompetisi politik.
“Keberadaan PKS sangat penting dalam koalisi ini karena mesin politik PKS adalah yang terbaik. Mereka selalu bekerja dengan optimal. Relawan PKS militan dan efektif, atraktif dan edukatif dalam kampanye online, offline, serta memiliki kesadaran keagamaan bahwa aktivitas mereka bernilai di hadapan Tuhan. Jadi orientasi para relawan dan kadernya adalah nilai-nilai yang jauh lebih besar, lebih luhur, dibandingkan kepentingan kelompok. Bila PKS memutuskan keluar, tentu akan menjadi pukulan besar bagi Koalisi Perubahan,” jelasnya.
Keharmonisan Nasdem, PKB dan PKS ini seperti sebuah romantisme masa lalu. Nasionalis, Islam tradisionalis dan modernis bekerjasama dalam memenangkan pilpres mengingatkan publik pada hubungan mesra yang ditunjukkan lebih dari 20 tahun lalu saat menyokong dan memenangkan Gus Dur sebagai presiden.
“Di tingkat akar rumput juga akan mengharmoniskan hubungan dan cara pandang konstituen dan kader dari tiga partai pengusung Anies-Cak Imin,” pungkasnya.
Seperti diketahui, PKS pada Sabtu lalu menggelar jumpa pers dan menyambut baik atas bergabungnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang mengusung Anies Rasyid Baswedan sebagai Bakal Calon Presiden RI pada Pilpres tahun 2024.
PKS pun menganggap bahwa bergabungnya PKB akan semakin mengokohkan semangat dan optimisme meraih kemenangan pada pilpres tahun 2024 untuk mewujudkan Indonesia adil, sejahtera, dan bermartabat.
Comment