MEDIAWARTA,MAKASSAR,-Sangat wajar dan terdengar menarik saat Anregurutta (AG.) Prof. Nasaruddin Umar menyampaikan konsep baru kurikulum yang akan diterapkan pada pendidikan lingkup Kementerian Agama, Kurikulum Cinta. Memang tidak ada yang meragukan sepak terjang personalnya dalan mempromosikan dan mengarusutamakan bagaimana cinta menjadi spirit dalam kehidupan bersesama.
Yang paling fenomenal dan tidak mungkin dilangkahi oleh sejarah adalah ciumannya pada jidad Paus yang berbalas dengan ciuman Paus pada tangannya, dua lakon yang kalau dikaji, diyakini setara menuju pada satu muara yang disebut: cinta. Mencium jidad seseorang sudah pasti dilatari oleh motif kasih, dan mencium tangan orang lain adalah lambang sebuah respek. Kasih dan respek adalah dua penopang utama untuk bisa merasakan kesejatian akan cinta. Tidak ada cinta tanpa rasa mengasihi, dan tidak ada cinta sejati tanpa mempraktekkan respek pada siapa yang dicintai.
Anregurrutta terdengar serius mengkampanyekan ide kurikulum cintanya pada “Breakfast Meeting” Kementerian Agama yang dimulai pada pagi yang segar, jam 6 waktu Indonesia Barat. Rencananya Breakfast Meeting ini akan dilakukan sekali dua minggu dengan membahas program priortias Kementerian Agama yang begitu beragam.
Saya menangkap bahwa keseriusan Anregurutta untuk menerapkan kurikulum cinta, sebenarnya sudah lama dirintis dan dipopulerkannya. Para pengikut Pengajian yang beliau bina pada lembaga Nasaruddin Umar Office (NUO) sudah sangat akrab dengan gagasan cinta yang membuat manusia bisa berdamai dengan kehidupan. Demikian pula pada Pesantren yang beliau dirikan dan pimpin, semua dibangun pada visi universalisme cinta.
Lahirnya “Deklarasi Istiqlal” yang sangat menyejarah itu dilatari oleh kegelisahan beliau terhadap dua fenomena global yang merusak tatanan cinta: dehumanisasi dan eksploitasi. Dehumanisasi ditandai dengan ragam kekerasan dan konflik yang mencabit harkat kemanusiaan. Sementara eksploitasi ditandai dengan pengrusakan lingkungan yang semakin tidak terkontrol.
Anregurutta saat mencanangkan “Joint Declaration” itu melihat bahwa tidak ada pilihan lain kecuali memasifkan turun gunungnya para tokoh lintas agama untuk meniupkan terompet ancaman terhadap krisis kemanusiaan yang semakin menggerogoti kehidupan. Dan beliau menyuarakan perlunya mengambil langkah-langkah pasti dan terukur bahwa sangat efektif untuk menggunakan kemurnian suara agama untuk membunyikan gong cinta. Anregurrutta meyakini bahwa suara tokoh agama masih memiliki orisinalitas ketika membicarakan cinta, karena semua agama intinya dibangun atas dasar ajaran cinta.
Sekarang Anregurutta juga sudah menjadi Menteri Agama. Menjadikan kurikulum sebagai “kendaraan” dalam mempopulerkan ajaran cinta adalah pilihan yang sangat tepat. Kurikulum adalah roh utama sistem indoktrinasi dalam pendidikan. Anregurutta pasti menyadari bahwa penyebaran masif tentang doktrin cinta yang dilakukannya secara kultural atau masih semi struktural, sudah saatnya dimaksimalkan sepenuhnya secara struktural melalui kurikulum sekolah formal di bawah Kementerian Agama yang dipimpinnya. Direktur Jenderal Pendidikan Islam pada pemaparannya sudah sangat siap untuk memulai kajian dan inisiasi untuk implementasinya.
Saya tidak bisa membayangkan betapa luar biasa efeknya bila ini terkelola dan terwujud. Bagaimana praktek baru kehidupan anak-anak kita tentang hidup yang didasari cinta sejati menggeliat seperti yang dipaparkan oleh Anregurutta pada ragam peradaban maju yang telah dialaminya. Bagaimana anak belajar yang sesungguhnya tentang makna mencintai tanpa mengintai, belajar menyapa tanpa menyepak, praktek mengundang tanpa menendang. Bagaimana guru mengajarkan mencintai agama yang dianut murid-muridnya tanpa menebarkan kebencian pada agama yang dianut murid-murid lain.
Tak kuasa menghitung efeknya bila ide besar Anregurutta tentang Kurikulum Cintanya bisa terwujud pada madrasah negeri dan swasta di bawah Kemenag yang sama tak kuasanya saya menghitung jumlahnya karena begitu banyak.
Saya menutup celoteh ini dengan sebuah keyakinan bahwa ketulusan Anregurutta dalam mempromosikan gagasan besarnya tentang Kurikulum Cinta menjadi saat yang tepat bagi semua dari kita untuk belajar memaknai kesejatian cinta dalam melakoni hidup; di antaranya tidak begitu mudah membangun “prejudice” terhadap seseorang, atau menegasikan seseorang tanpa didasari fakta yang kuat.
Termasuk saya yang suka sebatas beretorika, misalnya, saat mengulas perbedaan menyukai dan mencintai. Menyukai seperti memetik bunga yang indah, sementara mencintai adalah menyiraminya. Menyukai membuatnya layu sementara mencintai adalah membuatnya tumbuh. Sejujurnya pengetahuan itu sebatas bercokol dibenak saya dan tidak tahu mempraktekkannya. Tapi sebagai muridnya, saya tahu Anregurutta sudah lama mempraktekkan pada ikhtiarnya membangun peradaban cinta bagi kehidupan, “the man behind the love curriculum.”
Comment