Sup ayam itu masih utuh. Disantapnya meskipun hanya sesendok. Rasanya sama persis ketika ia masih kecil. Rupanya, karya tangan ibunya bisa menyaingi karya tangan koki di restoran. Ia juga membayangkan kalau saja Melisa yang kini ada di sisinya, mungkin darah dagingnya itu yang akan memakan sup itu. Lalu, mengapa juga saat ini hatinya bisa merasakan kedekatan dengan Melisa? Rasa kangen itu pun mulai menderanya kembali. Ditinggalkannya selembar uang lima puluh ribu di bawah gelas yang berisi air putih itu sebagai tanda pembayaran. Dengan masih menundukkan kepala, ia meninggalkan tempat itu.
Pelayan yang tadi datang menghampiri meja itu lagi, dan berniat membereskan meja, berteriak spontan. “Bu, Bu. Kembaliannya belum dikasih.”
Miranti tak menyahut, terus saja melangkah membuka pintu restoran dan keluar. Panggilan gadis yang telah lamat itu di telinganya itu tak ditanggapinya sama sekali. Tak diindahkannya uang kembaliannya yang terlalu banyak tersebut. Hatinya galau, dan ia ingin menangis sepuas-puasnya tanpa terlihat. Ia menuju ke tempat parkir mobilnya. Tak lama berselang, deru mesin mobilnya membelah keheningan malam.
***
Seorang gadis kecil berusia jalan sepuluh datang menghampiri pelayan itu. Gadis gembel itu menadahkan tangan kanannya sebagai ungkapan permintaan. “Kak, aku boleh minta supnya?”
Pelayan itu iba melihat gadis kecil yang sepertinya begitu kelaparan. Badannya kurus, mukanya kusam dan baju yang dikenakan pun sepertinya tidak layak pakai. Sudah ada sobekan di mana-mana. Ia pun tersenyum, dan berkata ramah.
“Tunggu sebentar, ya. Kakak pindahkan ke plastik dulu. Jadi, kamu bisa bawa pulang.”
“Hei, kamu!” panggil seorang satpam restoran dengan suara galak. “Lagi-lagi kamu, Gembel!”
“Ampun Pak, ampun! Saya belum makan dari kemarin. Saya cuma minta makanan bekas,” ujar bocah perempuan itu sambil menangis, dan lari bersembunyi di balik tubuh pelayan baik hati itu.
“Sudah, Pak. Tidak apa-apa. Benar, Pak. Anak ini tidak macam-macam, kok. Saya mau kasih dia makanan bekas ini saja. Punya salah satu pelanggan kita tadi yang tidak termakan habis. Sayang kalau dibuang,” ungkap pelayan itu.
Si Satpam pun berhasil diberi pengertian. Tampaknya sup ayam itu berjodoh dengan gadis kecil yang malang itu. Setidaknya, hari ini ia wajib bersyukur karena bisa mendapatkan makanan untuk mengganjal perutnya.
Dan mungkin merasakan hangatnya masakan seorang bunda yang sudah tidak pernah didapatkannya lagi sejak tinggal bersama ‘keluarga baru’-nya di salah satu wilayah kumuh kota.
Ya, dulu. Dulu sekali. Ketika pijar kenangan yang sudah mulai memudar dari otak kecilnya menyeretnya ke sederetan perumahan mewah nun jauh di ujung sana.
Biodata Penulis:
Mariska Tracy, lahir di Jakarta, 25 Mei 1986. Wanita yang lebih akrab disapa Mariska Uung sedari SD sudah senang menulis. Ia menulis apa saja, tetapi lebih suka menulis fiksi. Mantan jurnalis di Majalah Gadis ini merupakan lulusan manajemen pemasaran di IBII Jakarta. Cerpen-cerpennya sudah tersebar di seantero media Tanah Air. Salah satu cerpennya, Cinta Bukan Perkara Gemuk atau Langsing menuai banyak pujian dari pengamat sastra nasional. Cerpen ini juga salah satu cerpen dalam antologi cerpennya, Air Mata Ibuku dalam Semangkuk Sup Ayam yang diterbitkan Elex Media Komputindo, Jakarta.
Comment