Arwah yang Suka Bernyanyi

Foto: Shutterstock

Pak Wisnu menghela napas panjang lagi. “Panjang ceritanya. Tapi semua warga di daerah ini tahu persis peristiwa menyedihkan yang dialami keluarga Pak Sindhu.”

Miko takzim menyimak.

“Pak Sindhu mewarisi rumah tua itu dari kakeknya. Ia tinggal bersama istrinya yang cantik hingga kemudian dikaruniai seorang putri yang cantik. Niar namanya. Ia buah hati kedua orangtuanya. Sayang kebahagiaan mereka terenggut. Suatu hari mobil yang mereka kendarai mengalami kecelakaan fatal. Istri Pak Sindhu meninggal dalam kecelakaan itu.”

“Juga Niar?” Miko semakin antusias.

“Tidak. Niar selamat meski harus menjalani banyak waktu untuk perawatan. Dan ia… ia mengalami gangguan otak. Ia mengalami gegar otak berat karena benturan keras dalam kecelakaan tersebut. Berbagai cara telah ditempuh, namun hasilnya… entahlah, hanya Pak Sindhu yang tahu. Setahu kami, Niar tumbuh semakin dewasa, tapi tingkah dan kemampuannya abnormal – tetap seperti anak kecil.

Ia didiagnosis mengalami gangguan mental karena gegar otak akut. Bertahun-tahun Pak Sindhu hidup berdua dengan Niar yang tidak waras. Kala kecelakaan maut itu, Niar baru jalan lima tahun, hingga sekarang… mungkin usianya limabelas tahun.”

“Sama dengan usia Karmila,” desis Miko.

“Tapi anehnya,” lanjut Pak Wisnu,” Niar tiba-tiba tak pernah kelihatan lagi. Orang-orang tak pernah lagi mendengar lagu-lagunya yang lucu dan racau.”

“Sejak kapan?”

“Hampir setahun yang lalu, tepatnya sebelum Pak Sindhu menikah lagi. Waktu itu….”

“Tunggu dulu, Pak! Jadi, Pak Sindhu sudah punya istri lagi?”

Pak Wisnu mengangguk. “Waktu itu, sejak wanita yang kemudian dipersunting Pak Sindhu hadir, Niar telah tidak kelihatan lagi. Katanya, entah siapa yang bilang, Niar dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kasihan, kan?”

“Seharusnya memang begitu.”

“Kenapa tidak dulu-dulu?”

“Pasti Pak Sindhu sudah banyak berupaya.”

“Ya, mungkin begitu. Ah, orang itu memang amat tertutup sejak istrinya meninggal. Ketika menikah, orang-orang di sini pun tak ada yang diundangnya ke pesta pernikahannya.”

“Mereka menikah di sini?”

“Tidak. Kabarnya mereka menikah di kota istri barunya. Dan sejak saat itu, rumah yang kalian tempati itu dikosongkan. Hanya sesekali saja Pak Sindhu datang menengok.”

“Pantas rumah itu kurang terawat,” gumam Miko.

“Hampir setahun ditinggalkan.”

“Apakah ada sesuatu yang tak wajar di rumah itu sehingga Pak Sindhu meninggalkan rumahnya, bahkan kemudian menjualnya dengan harga yang sangat murah. Rumah tersebut sebenarnya sangat artistik, bukan?”

Pak Wisnu memainkan jari-jarinya. “Seingat saya tak ada yang aneh di rumah itu. Tak pernah.”

“Mungkin ada hantunya….”

Pak Wisnu menggeleng.

“Jangan karena ada saya, Pak….”

“Oh, tidak! Rumah itu biasa-biasa saja. Sekali pun tak pernah ada kejadian aneh, apalagi menyeramkan. Kesannya saja yang angker, karena tidak terawat dan catnya yang kusam termakan cuaca.”

“Lalu, kejadian apa yang telah menimpa adik saya? Kenapa bisa seperti itu? Kerasukan, seperti orang gila dan….”

“Saya bukan orang pintar, bukan dukun atau paranormal. Untuk urusan kerasukan setan, mungkin bisa diatasi oleh mereka, yang ahli ilmu gaib.”

“Mudah-mudahan dokter bisa mengatasi. Mungkin Karmila memang sakit dah harus diobati…,” gumam Miko.

“Saya harap begitu,” ucap Pak Wisnu. Ucapan bernada bimbang.

Ibu Wibi kembali terguncang. Tengah malam, ketika semua baru saja terlelah, Karmila kembali bertingkah aneh. Kembali  menari dan bernyanyi seperti orang gila. Pak Wibisono dan Miko berusaha memegangi tubuh Karmila, malahan terlempar ketika gadis itu meronta-ronta. Di tengah-tengah kepanikannya, tiba-tiba Miko ingat kisah yang dituturkan Pak Wisnu.

Miko telah berdiri persis di depan Mila yang masih berputar-putar dan menyanyikan lagu anak-anak dengan suara yang aneh.

“Niar!” suara Miko keras menghardik.

Pak Wibisono kaget, sekaligus khawatir melihat tindakan Miko yang menurutnya sangat aneh. Tapi di luar dugaan, hardikan itu seketika menghentikan gerakan dan suara Karmila.

“Kamu Niar bukan? Kamu arwah Niar?!”

“Miko! Jangan macam-macam! Adikmu lagi sakit. Ia mengigau karena demamnya datang lagi!” Pak Wibisono mendorong tubuh Miko.

“Niar!” Miko tak mempedulikan ayahnya lagi. Ia sekali lagi menghardik. “Jika kamu berniat baik dan tak ingin mengganggu, pasti kamu mau menjawab. Kamu Niar, bukan?”

Tiba-tiba Karmila menjatuhkan diri ke lantai, lalu menangis. Ia menangis sembari menggelosoh di lantai, seperti kelakuan seorang anak kecil. Miko mendengar tangis seorang bocah!

Pak Wibisono dan istrinya tak bisa berbuat banyak, kecuali memandang anak laki-lakinya itu, yang kini berjongkok sambil membelai kepala Karmila.

“Niar… Niar…,” katanya lembut. “Kami semua orang baik-baik dan tidak ingin mengganggu kamu. Tolong katakan… apa yang kamu mau? Tolong, kasihanilah adikku. Niar… Niar….”

Pak Wibisono dan istrinya menjadi takjub luar biasa manakala tiba-tiba Karmila menghentikan tangisnya.

Comment