“Jadi sekarang bagaimana, Pak?” tanya Yunar kesal, melirik tajam ke sepasang mata redup ayahnya.
“Kita harus menangkap Emak kalian lagi, lalu memakunya kembali.”
“Bagaimana caranya, bukankah kita sendiri tidak bisa terbang seperti Emak?”
“Kita harus cari akal.”
***
Menjelang gelap malam, Yunar, dengan paku dan batu di tangan, sudah berada di perkebunan karet yang tidak jauh dari rumahnya. Yunar berharap dirinya dapat menangkap ibunya di antara pohon-pohon karet yang tegak berdiri di sekelilingnya. Sementara, Yuni yang dibantu beberapa tetangganya memilih berjaga-jaga di bawah pohon asam yang ada di belakang rumahnya. Karena ke pohon itulah dia melihat ibunya terbang dan menghilang di situ.
Lain halnya Sanusi, dia mengawasi istrinya dari bawah pohon mangga yang tengah berbuah lebat. Sebab dulu sewaktu dia belum bisa menangkap istrinya, dia sering melihat istrinya memetik buah mangga itu bersama kelelawar-kelelawar. Dan sebagian buah yang dipetiknya sering dijatuhkan ke halaman rumah dengan maksud untuk dimakan anak-anaknya yang waktu itu masih kecil-kecil.
“Untuk apa?” tegur Sanusi waktu itu karena menganggap perbuatan istrinya bukan perbuatan seorang ibu, tetapi perbuatan kuntilanak.
“Aku memberi makan anak-anakku,” terdengar istrinya menyahut.
“Malam begini bukan waktunya memberi makan anak dengan makanan asam. Kau akan menyiksa anak-anakmu sendiri!” kata Sanusi.
Sang istri tak menyahut, justru dia melesat terbang ke pepohonan yang lebih tinggi. Dua ekor tupai dan seekor burung yang sudah mati dilemparkan dari atas pohon ke pintu dapur.
“Itu bisa kamu panggang. Beri makan anak-anak kita,” kata istrinya memohon dari atas pohon. Sanusi menolak karena tiga binatang buruan itu telah menjadi bangkai semua.
Dari pengalamam itulah, Sanusi jadi lebih hapal di mana istrinya kerap berdiam. Namun hari itu tidak ditemukannya tanda-tanda keberadaan istri Sanusi. Para tetangga yang turut mencari akhirnya kembali pulang dengan tangan hampa.
Akan tetapi, di balik kecemasan mereka, ada pula yang mensyukuri dapat dicabutnya paku dari kepala istri Sanusi, yaitu seorang perempuan yang bernama Emar, istri Leman, seorang penambang pasir di kampungnya.
Emar berharap atas lepasnya Suti, yaitu istri Sanusi, akan ada perubahan nasib terhadap dirinya. Karena dirinya pun tak beda dengan istri Sanusi yang ingin lepas bebas seperti dulu.
“Suti, datanglah kepadaku,” bisik Emar sambil memandangi awan hitam yang berarak di antara bulan sabit yang terjebak oleh cuaca buruk melalui jendela rumahnya malam itu. “Ayo Suti, tolong temanmu ini. Aku tersiksa, Suti. Aku tersiksa,” lemah suara Emar karena khawatir suaranya akan terdengar suaminya yang tengah menunggu dirinya di pembaringan. Sementara itu, Suti sudah mendengar suara temannya itu dari atas pohon waru.
Comment