Pelangi di Pantai Senggigi

Foto: Istimewa

“Laut adalah bagian dari hidupku. Banyak hal indah yang disodorkan pantai. Sunset yang indah. Nelayan yang ramah. Deburan ombak. Malah kalau beruntung, aku sering melihat pelangi di atas pantai.” Cowok itu menatap ke langit.

“Pelangi?” Egidia tertawa. “Mana ada pelangi di pantai? Pelangi kan adanya di pegunungan,” lanjutnya.

“Lihat saja nanti. Jika ada gerimis lalu matahari bersinar redup maka pelangi yang indah akan muncul di atas sana.” Cowok itu menatap ke langit lalu pandangannya kembali hinggap di wajah Egidia.

Egidia tertawa lagi.

“Kamu romantis banget.” Egidia terpingkal.

“Aku penulis,” aku cowok itu. Membungkukkan badan. Mengambil sebuah kerikil lalu melemparkan ke tengah pantai.

“Oya?”

Cowok itu tersenyum.

Egidia termenung sejenak. Mengudak benaknya mencari profil cowok yang tiba-tiba akrab dengannya.

“Pernah ceritamu diterbitkan?” Egidia mulai tertarik. Buku adalah sahabatnya. Karena segudang ilmu ditimbanya dari tumpukan kertas-kertas itu.

“Banyak,” jawab cowok itu.

“Yang terbaru?” desak Egidia penasaran.

“Senja, Laut, dan Pelangi,” cowok itu menyebutkan judul buku karangannya.

Egidia berpikir keras. Ia mencoba mengingat semua novel remaja yang tak pernah dilewatkannya jika ada novel-novel remaja yang baru terbit. Terutama yang bercerita tentang alam. Dan usahanya ternyata tidak sia-sia. Sebuah nama kini nyantel nyata di benaknya.

“Oke. Aku mulai ingat. Kalau tidak salah novel itu bercerita tentang cowok yang merasa dibuang keluarganya?” Egidia membuka kalimat dengan mengutip prolog novel yang terdiri dari tujuh episode itu.

“Bukan merasa. Tapi benar-benar dibuang.” Cowok itu tersenyum. Ada luka memancar dari sorot matanya yang tajam.

“Yang memilih tinggal di tepi-tepi pantai dengan tenda ketimbang tinggal di rumah mewah?” lanjut Egidia yakin.

“Kamu membacanya?” Cowok itu menatap Egidia.

“Aku hapal dari episode satu sampai episode terakhir.” Mata Egidia bersinar ceria. “Jadi kamu…?” Egidia ingin betul mengetahui siapa cowok yang kini menemaninya ngobrol di tengah-tengah gerimis yang menggila.

“Re Angga Kalalang!” jawab cowok itu sembari mengulurkan lengan tangannya.

Surprais!

Egidia hampir tak percaya. Bisa ketemu dengan penulis idolanya di saat tak terduga seperti ini. Surprais sekaligus menyenangkan karena bisa bertemu langsung dengan seseorang yang telah menyita waktunya karena novel-novel tokoh utamanya selalu bernasib tragis dan kurang beruntung. Mereka adalah remaja yang ‘terbuang’. Antagonis dan meledak-ledak.

“Namaku Egidia. Aku salah satu pembacamu,” sambut Egidia. “Kalau buku itu saya bawa, aku pasti meminta kamu untuk membubuhkan tanda tangan.” Egidia tertawa.

Comment