Perempuan yang Selalu Menggenggam Telur
Oleh T Sandi Situmorang
MEDIAWARTA.COM – Tidak ada yang istimewa. Hanya sebutir telur ayam kampung. Berwarna putih keruh. Tidak ada sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Biasa saja. Andai saja perempuan itu tidak selalu menggenggamnya. Sepanjang waktu. Membawa kemana ia pergi. Konon saat tidur dan mandi, perempuan itu selalu menggenggamnya. Hanya berpindah antara tangan kanan dan kiri.
Tentu menjadi sebuah pergunjingan. Desa bukan seperti kota. Di desa ini, segala sesuatu cepat tersebar. Tingkah laku warga, aneh sedikit saja, menjadi topik hangat di warung-warung kopi, kedai sembako, bahkan di pematang sawah sekalipun.
“Sudah gila kurasa. Selalu dia pegang telur itu.”
“Barangkali dia sudah ngebet minta kawin.”
“Mana mungkin. Kekasihnya baru saja pergi merantau.”
“Aku lihat semenjak kekasihnya pergi merantaulah dia jadi aneh begitu.”
“Barangkali dia rindu dengan kekasihnya itu.”
“Hus, tidak baik bicara begitu. Tak ada hubungan rindu kekasih dengan selalu menggenggam telur itu.”
“Mungkin saja, kan?”
“Janganlah berburuk sangka. Tak baik. Dia itu perempuan suci. Tidak mungkin dia suka memegang telur kekasihnya.”
“Ah, mungkin saja. Urusan seperti itu tak memandang orang suci atau tidak. Semua suka.”
“Memang. Tapi…”
Begitulah yang kerap terjadi di warung kopi. Topik pembicaraan selalu mengenai perempuan itu. Setiap hari. Berulang-ulang. Dibicarakan orang yang sama. Mereka seolah lupa topik pembicaraan yang mereka suka selama ini: pejabat yang korupsi, dana BLT yang tersendat, sampai masalah judi buntut yang tidak jelas lagi buntutnya.
***
Perempuan itu berbalik. Melangkah riang. Ia bahagia. Meski terasa ada yang hilang dari tangannya. Ia bahagia, bisa memenuhi janji. Meski bukan seperti inginnya.
“Kau tahu, orang-orang desa semua membicarakanmu.”
“Kenapa?” tanya perempuan itu sambil mengelus-elus telur di tangannya. Warnanya tidak lagi putih keruh, tapi sudah putih kebiru-biruan.
“Karena telur itu tidak pernah lepas dari tanganmu.”
“Tidak mungkin lepas. Ini masa depanku.”
“Masa depan bagaimana?”
“Cukup hanya aku yang tahu.”
“Kau terlalu berahasia. Meski dengan aku, sahabatmu sendiri. Itu sebab orang desa menggunjingkanmu. Kau dicap perempuan aneh.”
Perempuan itu tersenyum. Matanya menerawang jauh. Terbang melintasi langit biru yang terhampar bak karpet di langit luas. Sementara tangannya masih mengelus-elus telur itu. Tidak akan ia lepas telur itu dari tangannya. Sampai waktunya tiba.
“Bahkan ada yang bilang, kau kegatalan. Ingin kawin.”
Senyum perempuan itu pecah menjadi tawa. Pipinya yang kuning langsat tampak memerah. Kawin. Ah, siapa yang tidak ingin kawin. Terlebih dengan seseorang yang mampu menggetarkan hati. Seseorang yang selalu membuat jantungnya menggelepar-gelepar jika mereka bersentuhan.
Comment