Terus-terang, saya takut dia jadi berubah seandainya sekolah di Jakarta. Maklum, dia, seperti juga saya, dibesarkan dalam keluarga Muslim yang taat. Ketakutan saya memang agak berlebihan. Tidak tahu kenapa. Mungkin karena saya sangat menyayanginya. Tahu sendiri, pergaulan di kota besar jauh berbeda dengan kebiasaan yang selama ini dia alami. Makanya, saya tidak setuju.
“Jangan ada mimpi sekolah di Jakarta,” ujar saya waktu itu. “Kamu harus masuk Pesantren!”
“Tapi, Kak….” Titi mengkerut. “Saya ingin sekali sekolah di Jakarta seperti teman-teman yang lain.”
“Tidak! Lagian, kasihan Mama kalau kamu terlalu jauh. Kalau di Pesantren kan, bisa pulang seminggu sekali,” kata saya tandas.
Bahkan, ketika Titi meminta liburan ke Jakarta, saya pun hanya menjanjikannya. “Nanti saja kalau liburan panjang.”
Tapi, janji itu tidak pernah saya tepati. Sesuatu terjadi terhadap adik saya. Tiga bulan setelah percakapan di rumah kami di Bumiayu itu, Titi pergi untuk selama-lamanya. Adik perempuan saya satu-satunya, bahkan satu-satunya cewek di keluarga saya itu dipanggil Yang Mahakuasa.
Parahnya, saya tidak bisa melihat untuk yang terakhir kalinya. Pada waktu yang bersamaan, saya juga tengah di rawat di rumah sakit karena gejala tifus. Gejala tifus sudah menyerang sejak saya di Bali. Waktu itu, selama satu bulan penuh saya keliling Jawa-Bali untuk bikin skenario film dokumenter Reog Ponorogo dan Hari Raya Galungan. Dan maklum saja, walaupun sering tidur di hotel berbintang, jadwal makan saya tidak teratur.
Sementara kerjaan yang saya lakukan tidak kenal waktu. Jadi, begitulah akibatnya.
Saya ingat betul, Selasa malam itu, semalaman di rumah sakit badan saya gatal-gatal semua. Saya tidak tahu penyebabnya. Bahkan, dokter yang menangani pun tidak tahu. Juga bukan kesalahan memberi obat.
Aneh bin ajaib. Praktis, semalaman itu saya tidak bisa tidur. Jarum infus di tangan pun sampai terlepas karena saya tidak mau diam. Dua suster jaga saja, sampai bingung.
Dua hari kemudian, baru saya dapat kabar dari Paman yang menjenguk saya, kalau Titi sudah tiada. Persis Selasa dini hari, pukul 02.00 WIB. Di rumah sakit umum Purwokerto, 60 kilometer dari Bumiayu.
“Dia komplikasi radang tenggorokan dan tifus. Tiga terakhir, infus saja sudah tidak bisa masuk,” jelas Paman.
“Kenapa baru sekarang ngasih tahu?” Saya sempat shock juga waktu itu. Ingin rasanya berlari pergi dari rumah sakit dan pulang ke Bumiayu. Tapi, kondisi saya sendiri masih lemah.
Saya tahu, Paman tidak mungkin memberitahu keadaan yang sebenarnya sementara saya sendiri sedang terbaring sakit….
Comment