Adik dari Masa Lalu

Foto: hdwallpapersrocks.com

Rasa kehilangan itu, lama sekali menguap dari ingatan saya. Penyesalan saja, rasanya tidak cukup untuk menebus rasa bersalah saya. Kenapa dulu saya tidak mengizinkan Titi sekolah ke Jakarta? Kenapa?

Semuanya memang tinggal kenangan. Dan, dalam keluarga saya, hanya Titi-lah kenangan terindah saya. Dia adik yang paling mengerti saya. Mencucikan dan mensetrikakan baju, serta yang paling cerewet kalau saya tidak rapi!

Dan, kini, sosok itu, sedikit-banyak saya temukan terhadap Devi. Devi memang tidak tahu karena saya tidak pernah cerita tentang semua ini kepadanya. Saya takut dia marah. Saya takut dikira mengada-ada. Karena, terus-terang, saya tidak ingin melihat dia marah. Saya sedih kalau dia marah. Dan saya tidak mau itu terjadi. Bahkan, untuk tiga detik pun!

Sejak pulang dari Maine, Amerika itu, sebelum dia masuk sekolah, hampir setiap hari saya menelepon Devi ke Surabaya. Jujur saya akui, saya kangen kalau tidak dengar suaranya. Pernah saya main ke sekolahannya, di Cikarang Bekasi karena ingin melihat dia. Dia tinggal di asrama.

“Kamu kok hitaman, sih?”

Devi cuma menyungging senyum. “Di sini panas.”

Tidak banyak yang kami omongkan karena Devi harus sekolah. Jadwal sekolah dan aktivitasnya yang padat sejak bangun pagi sampai malam, membuatnya tidak punya banyak waktu untuk bersantai.

Kalau bisa sih, ingin sekali saya beri perhatian lebih kepada Devi. Saya sudah menganggapnya sebagai adik. Saya menyayanginya seperti rasa sayang saya kepada Titi. Tulus. Bahkan, saya ingin menebus ‘kesalahan’ yang pernah saya lakukan dulu. Persoalannya, bisakah Devi menerima semua itu?

“Kamu baik banget, sih?” suara Devi di handphone.

“Ah, cuma buku dan majalah saja, kok!”

“Iya, tapi saya tidak enak….”

Saya menelan ludah. Diam sesaat. Ah, Dev… andai kamu jadi adik saya.

Biodata Penulis:

Noerdin Es Er, lahir di Bumiayu, Jawa Tengah. Meniti kariernya sebagai penulis cerpen remaja di berbagai majalah remaja nasional, ia beranjak berkembang sebagai wartawan freelance di beberapa koran ibu kota dan menjadi wartawan majalah Gadis pada akhir 1980-an. Tidak lama kemudian, bersama redaktur Gadis, Bens Leo, ia bergabung sebagai wartawan di majalah Anita Cemerlang, dan menerima predikat sebagai wartawan nonfiksi terbaik versi poling pembaca Anita Cemerlang pada 1994. Ia diangkat sebagai redaktur pelaksana Anita Cemerlang pada 1996, dan pemimpin redaksi Anita Cemerlang pada 1998. Pernah menerbitkan beberapa majalah, seperti majalah musik M&G dan majalah remaja Planet OK.

Comment