Berlariku

Foto: Istimewa

Posturnya tinggi, gagah, tampangnya sengak. Sinar matanya menunjukkan bahwa dia tahu dialah yang paling bisa. Caranya melihat orang menunjukkan kesuperiorannya. Sama sepertiku, kata orang-orang di sini dia belum pernah dikalahkan. Kita lihat saja nanti. Rekornya akan kupecahkan, posisinya akan kuambil. Aku, seorang cewek, akan mengalahkan si Kilat, Andreas.

“Masih kuat lari, tidak?”

Semua kepala menoleh ke arahku.

“Wah, Nike! Kamu mau join tim lari sekolah kita, nih?” tanya Rizky.

“Tidak tahu. Tim kamu cukup bagus buat aku tidak?”

Aku mendengar beberapa orang menggumamkan kata “belagu”. Biarkan saja! Andreas mengernyitkan dahi sambil berjalan ke arahku. Tali sepatunya berwarna merah, sama seperti wristband yang melingkar di tangan kirinya. Anak-anak sepak bola yang mendengar tantanganku tadi sepertinya menyebarkan berita itu dengan cepat, karena tanpa kusadari sekarang aku harus berebut oksigen dengan lebih banyak orang.

“Siapa kamu?” tanya Andreas. Alah, pura-pura tidak tahu saja.

“Masih kuat lari, tidak?” ulangku.

“Aku tidak  kenal kata capek,” jawabnya.

“Seribu enam ratus? Atau mau sprint saja?”

“Sprint.”

Aku mengambil posisi start  di lajur nomor tiga, dia di nomor lima. Rizky berlari ke garis finish  dengan stopwatch tergantung di lehernya. Keringatku mulai berjatuhan, padahal lari saja belum. Sinting kamu, Nik! rutukku dalam hati kepada diri sendiri.

“Satu… dua… tiga!”

Aku berlari sekuat tenaga. Daya tarik bumi tak bekerja kepadaku saat itu. Kedua kaki ini serasa tak berpijak pada apapun setiap kali kuberlari. Mataku terfokus ke depan, walau hatiku ingin sekali mengintip posisinya. Tapi aku tidak akan melakukannya karena aku tahu jika aku menoleh, kecepatanku akan berkurang. Tinggal beberapa meter lagi, dan….

“Delapan koma tiga lima!” Rizky meneriakkan angka-angka.

“Damn it!” umpat si Kilat.

“Gila, Nik! Lari kamu boleh juga. Tidak kalah cepat sama jagoan kita,” sahut Rizky.

“Ulang!” tantangku.

“Tega kamu, Nik. Andreas sudah capek….”

“Tidak. Aku tidak capek,” potongnya.

“Dre, kamu nekat ya? Sayang otot-otot kamu, tuh!”

“Kalau dia mau ulang, aku akan melayaninya. Kasihan, sepertinya tidak terima ada yang lebih cepat dari dia.”

“Waktu kita sama, ya!” balasku.

“Aku pernah lebih cepat dari itu.”

Aku geram. Kurang ajar nih orang!

Comment