“Maaf, Nik. Kamu tidak bisa ikut tim kami.”
Aku tertegun, tak percaya apa yang baru saja kudengar.
“Kamu kan tahu, sekolah kita ini sekolah unggulan. Kepala Sekolah tidak mengizinkan murid yang nilainya di bawah rata-rata untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler,” jelas Katrina. “Jadi dengan sangat menyesal, aku tidak bisa kasih kamu masuk.”
“Kecuali….” lanjut Rizky, menggantung.
“Apa?” sambarku tidak sabar.
“Kamu naikkan nilai-nilai kamu, Nik.”
“Gembel!” teriakku.
“Ayolah, Nik. Kami juga ingin sekali kamu bisa jadi salah satu atlet lari sekolah ini.”
“Kami?” tanyaku. “Yakin kamu si Tuan Kilat tidak keberatan?”
“Ya, ampun, Nik. Dia tuh sebenarnya….”
“Tidak! Aku tidak takut sama orang belagu kayak dia,” Andreas masuk ke ruangan tiba-tiba. Matanya menatapku tajam. Menguliti setiap sel dari wajahku. Aku sedikit tersentak karena suaranya yang keras.
“Iya, kamu sebenernya ingin Nike masuk tim kita kan, Dre?” goda Rizky.
Si Sengak itu melenggang pergi begitu saja.
“Tenang saja, Nik. Dia sebenarnya ingin sekali kamu join tim kita, kok. Makanya, belajar yang giat, ya?” Rizky mengedipkan sebelah matanya kepadaku. “Cabut duluan.”
Belajar hanya akan mengingatkanku kepada Ayah. Ini dilema.
Untuk pertama kali seumur hidupku, Ibu dipanggil bukan karena aku akan tinggal kelas. Kepala Sekolah menelepon, mengatakan ia ingin sekali berbincang dengan Ibu tentang aku.
Anak Ibu berbakat dalam cabang olahraga lari, kami sungguh ingin dia masuk ke dalam tim sekolah kami. Ibu hanya tersenyum.
Tapi Nike harus meningkatkan nilai-nilainya, setidaknya sampai mencapai rata-rata kelas.
Ibu terdiam.
Kami seutuhnya mengerti tentang masa lalu Nike, dan kami rasa sebenarnya dia anak yang cerdas. Hanya sedikit malas saja.
Kepala Sekolah tertawa kecil.
Untuk pertama kali seumur hidupku, setidaknya setelah kepergian ayah, aku melihat wajah Ibu begitu bersinar. Ia memelukku erat dan mengecup keningku ringan. Ibu tidak berkata apa-apa, tapi aku sudah tahu semuanya.
Ini berarti aku harus memperbaiki nilaiku, masuk ke dalam tim, dan memenangkan pertandingan tahun ini. Aku harus belajar. Aku harus memanggil Ayah. Kukeluarkan buku Biologi dari dalam tasku dan lewat setiap huruf yang kubaca, aku bertemu dengannya. Bayangan wajahnya agak buram karena air mataku yang mulai berjatuhan. Demi Ibu, tekadku dalam hati.
***
Beberapa bulan kemudian….
“Nike, delapan puluh tiga,” Bu Connie menyebutkan nilaiku.
Teman-teman di sekitarku langsung berteriak kegirangan. Aku tersenyum lepas. Bu Connie memberikan kertas ulangan Fsika kepadaku, ia pun ikut merayakan keberhasilanku dengan senyumnya. Aku tidak sabar untuk memamerkan nilaiku ke Ibu nanti sore. Akan kuajaknya ke kedai es krim, kali ini aku yang bayar.
Bisa lihat, kan, perubahanku? Prestasiku di sekolah meningkat pesat, meski belum mencapai puncaknya. Aku lebih niat belajar sekarang, dan harus kuucapkan terima kasih kepada teman-temanku atas dukungan besar mereka.
Comment