Berlariku

Foto: Istimewa

Aku masih rindu Ayah, namun aku mulai berani sedikit demi sedikit mengenangnya. Aku tidak lagi takut mengingat segala detail tentangnya, yang tentu saja masih jelas tergambar dalam hatiku selama ini. Aku bahkan sudah bisa makan es krim lagi! Akhirnya aku sampai di garis finish dalam pertandingan lari berjarak seumur hidup ini.

Mulai sekarang aku tidak akan berlari lagi. Melelahkan dan tak ada manfaatnya bagi siapa pun. Bagaimanapun buruk keadaannya, akan kuhadapi. Tapi di atas lapangan, masa harus kutinggalkan? Berlariku adalah anugerah Tuhan, atlet manapun akan mengakui kecepatanku.

***

“Semua peserta lomba lari jarak empat ratus meter harap segera mengambil posisi masing-masing,” suara announcer terdengar dari speaker.

Andreas dan aku yang menjadi wakil dari sekolah kami tahun ini. Waktu mengajarku untuk melunakkan hati terhadapnya. Lagipula, kami harus menghabiskan banyak waktu bersama untuk latihan. Aku akhirnya sadar tidak bisa terus-terusan sombong di depannya. Jangan salah, bukan berarti aku rela kalau sampai dikalahkan sama dia.

“Hati-hati, ya?” Ia tersenyum kepadaku.

“Oh, he-eh… ya, ya. Kamu juga,” balasku salah tingkah.

“Masih ada tahun depan, kok.”

“Maksud kamu apa?” Suaraku naik beberapa oktaf.

“Maksudku, ini pertandingan kelas tinggi. Semua peserta sangat serius dan sudah pasti jago,” jelasnya. “Mungkin kamu bisa kalahkan aku, tapi kamu tidak tahu kemampuan mereka seberapa.”

Ya, ampun. Ini kali pertama dia mengaku lebih lemah ketimbang aku.

“Nik?” Andreas melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku. “Kok bengong?”

“Oh, tidak,” jawabku asal. “Kamu usaha sekuat tenaga, ya?”

Akhirnya kami mengambil posisi masing-masing. Akan ada dua juara yang keluar dari pertandingan ini, yakni juara perempuan dan laki-laki. Jika aku menang pun, aku akan tetap merasa dikalahkan jika waktunya lebih cepat meski cuma nol koma satu detik dariku. Sorak sorai penonton terdengar jelas di telingaku. Andreas bersiap-siap dua lajur dari kiriku. Ini saatnya.

Pistol ditembakkan dan melesatlah kami. Ada sepuluh peserta perempuan dan sepuluh peserta laki-laki, semuanya menuju garis putih di ujung lapangan. Kuatur napas sebaik mungkin dan kukepalkan tangan. Kira-kira di meter dua ratus, kutengok Andreas, entah untuk apa.

Aku sangat kaget karena ia pun sedang melihat ke arahku. Saat itu juga, kurasakan sebuah gejolak asing berdentum di dada. Aku terus berlari, mencapai garis yang sesungguhnya masih jauh dari bayangan. Aku melihat matahari tersenyum lebar di depanku, menyadari ternyata masih ada juga hal-hal indah di dunia yang gelap ini.

Biodata Penulis:

Karina Negara, lengkapnya Karina Aelyo Nindyo Kusuma Negara, lahir di Jakarta, 4 November 1991. Penulis yang memiliki nama panjang tersebut cukup dipanggil Karina. Alumni SMA Pelita Harapan, Lippo Karawaci ini memiliki prestasi yang tidak dapat disepelekan. Pernah meraih penghargaan sebagai Juara Dua Lomba Cerpen SMAK 4 pada 2007 lalu. Karina yang memiliki hobi menulis puisi dan cerpen serta menyanyi ini sangat piawai menulis puisi dalam bahasa Inggris. Seabrek prestasi yang pernah diraihnya adalah Juara Satu Lomba Membaca Puisi Tingkat SD di Sekolah Dian Harapan, Juara Dua Lomba Menulis Cerpen (SMAK 4, 2007), Juara Satu Lomba Menulis Puisi Ketuhanan (Bulan Bahasa SPH, 2007), Juara Satu Lomba Musikalisasi Puisi (Bulan Bahasa SPH, 2007), Juara Dua Lomba News Casting (Swiss German University, 2007), dan Juara Dua Lomba Story Telling (Nationwide English Olympics by Binus University, 2007). Karina juga pernah tampil di depan Sapardi Djoko Damono dalam acara Puisi-Puisi Cinta, dan membaca musikalisasi puisi ‘Pada Suatu Hari Nanti’ karya Sapardi Djoko Damono, yang berhasil dimenangkannya sebagai Juara Satu (15 Februari, 2008).

Comment