Tentang Mama

Foto: Istimewa

Di mata Mama hanya ada Yoshan, Abangku yang sempurna. Abangku yang kini indekos di dekat kampusnya. Abangku yang kuliah di Universitas Indonesia fakultas Kedokteran. Abangku yang tak tak pernah membuat cela. Selalu menjadi yang terbaik. NEM tertinggi di sekolah, diraihnya waktu SD dan SMP – malah diukirnya nilai tertinggi untuk wilayahnya. ketua kelas, ketua panitia, bahkan ketua OSIS hampir tak pernah luput mengunjunginya.

Mama terlalu. Ia selalu menekanku. Mengharapkan aku bisa melampaui, atau minimal mensejajari Abangku itu. Semua cara dilakukannya. Bahkan juga dengan merampas setengah dari hidupku. Melukis. Kegiatan yang bagaikan napas cadangan untukku.

Sejak aku gagal menjadi bintang kelas waktu duduk di kelas tiga tingkat SD, Mama melarangku untuk melukis. Padahal ia tahu, aku sudah suka melukis sebelum aku bisa menulis. Keterlaluan! Dan itu bukannya menobatkanku. Aku makin berontak. Akibatnya, aku tak naik kelas di kelas empat. Kemudian kuulangi lagi tiga tahun kemudian.

***

Mama tak pernah tahu, aku sangat kecewa ketika gagal jadi bintang kelas dulu itu. Bahkan aku berjanji dalam hati, kalau tahun berikutnya aku gagal lagi, aku akan berhenti melukis selama satu tahun penuh. Tapi Mama seenaknya merampas kegemaranku itu. Menutup telinga dari semua alasan yang kuungkapkan.

Kemudian aku dan Mama, semakin jauh. Protesku yang semakin mendapat tekanan dari Mama, membuat aku untuk lebih berulah lagi. Aku mulai merokok, minum minuman keras, bolos sekolah, dan bikin onar di sekolah.

Kemudian aku makin yakin, Mama dan aku sudah terpisah semakin jauh. Sementara Yoshan, Abangku, sudah berputus asa mendamaikan kami dan menasihati aku.

Aku merasakan, keraguan yang sangat dalam bilangan hari-hariku. Masih adakah sejumput kasih Mama untukku? Dan tanpa terasa perselisihan itu telah memakan banyak waktu kami. Sekarang aku duduk di kelas dua SMA, dan jurang perselisihan itu semakin baur dalam pesimisme untuk dapat terjawab tuntas.

Aku menghitung uang di dompetku. Heh, sepertinya masih cukup untuk membeli barang yang ditawarkan temanku tadi siang. Banyak hal yang sudah kucoba. Berbagai macam obat, sudah kuhapal harga, khasiat dan lama reaksinya. Tapi aku belum pernah mencoba satu yang ditawarkan Koko tadi. Hm, menurut promosinya sih, obat tadi memberi sensasi baru dalam melarikan diri dari kenyataan. Ah, aku tak sabar untuk mencicipinya.

“Otish! Otish! Sini cepat!”

Tuh kan, suara yang melengking itu sudah mendengung lagi.

Dengan gusar, terpaksa aku keluar kamar.

“Apaan sih, Ma?” tanyaku jengkel.

“Besok kamu Mama antar ke sekolah.”

Mataku melotot. Diantar? Amit-amit! Kayak balita baru masuk Taman Kanak-Kanak saja.

“Tidak. Naik bis lebih enak.”

Comment