Seorang Pelacur dan Sopir Taksi
Oleh Amril Taufik Gobel
MEDIAWARTA.COM – Kehidupan berjalan seperti puisi. Saya senantiasa berpendapat demikian, meski saya bukan seorang penyair tapi tak lebih hanya penikmat puisi, karena saya melewatkan hari demi hari kehidupan dengan beragam nuansa: terkadang sangat melodramatis, romantis, sentimentil, bahkan lucu. Seperti puisi.
Saya telah banyak menemui kejadian yang menegaskan fenomena itu. Kemarin, saya mengembalikan dompet seorang ibu yang ketinggalan di taksi saya. Sesungguhnya, saya tidak mengharapkan keuntungan apa-apa dari situ, sebab saya tahu, kejujuran dan kepolosan sudah menjadi bagian integral dari jiwa, tubuh, dan segenap aktivitas keseharian saya.
Kalaupun kemudian, ia dengan ekspresi wajah lega dan ucapan terima kasih tak terhingga, lalu memberikan uang sebagai penghargaan atas “jasa” saya, dan kemudian dengan halus saya menolaknya, itu semata-mata karena apa yang telah saya lakukan sudah menjadi tugas saya, komitmen saya untuk menjunjung tinggi “harkat kesopirtaksian” saya. Tak lebih.
Lantas, dua minggu lalu, saya menolong seorang korban kecelakaan lalu lintas di depan kampus sebuah perguruan tinggi. Saya segera membawanya ke unit gawat darurat rumah sakit terdekat, dengan tidak memperhitungkan lagi berapa tarif taksi yang saya dapat peroleh andai saya tetap mengabaikan kejadian itu.
Semua terasa seperti tindakan bawah sadar yang telah terbentuk sedemikian rupa selama bertahun-tahun, sejak almarhum ayah menanamkan nilai-nilai kependekaran pesilat kampung dan kearifan petani penggarap. Kejadian-kejadian tadi seperti mengguratkan puisi-puisi indah dalam hidup saya.
***
Saya kembali menjalani rutinitas saya. Bukan rutinitas yang lazim memang, karena setiap petang tiba, saya menjemput Susan, seorang wanita panggilan “kelas kakap” yang tinggal di sebuah rumah mewah di sebuah kompleks pemukiman real estate, untuk kemudian membawanya ke suatu tempat, di mana saja yang telah disepakati sebelumnya pelanggan setia saya itu.
Ia sudah menyewa taksi saya selama enam bulan. Jadi pada jam-jam tertentu-biasanya petang hari-saya menjemputnya di rumah, membawanya ke suatu tempat yang senantiasa berbeda-beda, lantas mengantarnya kembali pulang setelah “bisnis”-nya usai pada jam-jam tertentu pula.
Susan membayar cukup mahal untuk tugas tersebut. Dan saya menerima itu sebagai bagian tak terpisahkan dari “harkat kesopirtaksian” saya. Saya tidak menganggap itu sebagai kerja yang hina lantaran menerima bayaran dari hasil desah dan keringat maksiat Susan.
Comment