Saya melirik melalui kaca spion, ia duduk santai di belakang, menyelonjorkan kaki dan menyalakan rokok. Saya tersenyum dan kembali mengalihkan pandangan ke depan. Ia tak menjelaskan lebih jauh pernyataan yang telah dikeluarkan. Hanya kepalanya terangguk-angguk pelan menikmati lagu melankolis “When A Man Loves A Woman”-nya Michael Bolton yang mengalun dari tape recorder taksi saya.
“Hei, Hamzah. Kamu sudah punya pacar belum?” tanyanya tiba-tiba.
Saya gelagapan dan agak kehilangan konsentrasi mengemudi.
“Belum,” saya menjawab tersipu. Sebuah jawaban yang jujur. Saya akui, saya bukan tipe lelaki yang dapat dengan mudah membina hubungan cinta dengan wanita. Saya memiliki selera perfeksionis, tapi tak pernah punya cukup keberanian untuk menerapkannya lebih jauh.
Susan terkekeh. Ia menghirup rokoknya dalam-dalam. Rimbun asapnya mengepul-ngepul, memenuhi kabin taksi. Saya menelan ludah.
“Kalau Susan sendiri bagaimana?” Saya balik bertanya.
“Kamu tahu sendiri, kan? Banyak. Banyak sekali,” sahut Susan. Suaranya terdengar hambar. Kedengarannya ia seperti melontarkan sebuah lelucon. Atau apologi? Saya tak tahu.
“Banyak memang. Tapi hampa,” saya menanggapi dengan getir.
Untuk beberapa saat Susan terdiam. Ia mematikan rokoknya, lalu merenung. Lama. Hanya deru mesin mobil dan getar alat air conditioner taksi terdengar. Lalu lintas di larut malam itu memang telah sepi. Sebagian lampu jalan telah dipadamkan. Saya tiba-tiba menyadari kecerobohan dan kelancangan saya.
“Maafkan saya, Susan. Saya….”
“Tidak apa-apa, Hamzah. Kamu benar. Mereka hampa. Cuma punya tubuh dan nafsu. Bukan jiwa dan cinta,” tutur Susan lirih. Saya menghela napas panjang. Dada saya terasa sesak.
“Hidup menawarkan banyak pilihan, Susan.”
“Tapi saya tak punya pilihan!” sangkal Susan. Nada suaranya meninggi. Saya berusaha menenangkan diri.
“Kearifan menyikapi dengan landasan moral, itu kunci untuk memilih. Kita memang tak akan pernah tahu apakah pilihan hidup kita sudah tepat. Tapi setidaknya, kita mesti punya pegangan yang kokoh untuk menentukan kemana kita mesti melangkah,” saya berkata lembut.
Terdengar napas berat Susan di belakang. Suasana terkesan kering dan kaku. Kami tak bercakap-cakap lagi hingga saya mengantarnya ke gerbang depan rumahnya. Ia hanya mengucapkan, “Selamat malam. Sampai jumpa besok sore”. Saya pulang ke rumah dengan rasa bersalah yang bertumpuk.
***
Sekarang, saya kembali menjemputnya seperti biasa pada waktu dan tempat yang sama. Kekakuan komunikasi akibat “insiden” tempo hari telah lenyap. Saya pun berusaha untuk lebih hati-hati. Menjaga perasaannya.
“Apa kamu tidak bosan dengan rutinitas seperti ini, Susan?” Saya membuka percakapan, pada hari terakhir kontrak sewa saya dengan Susan.
“Apa kamu punya ide yang baik?” Ia balas bertanya.
Comment