Seorang Pelacur dan Sopir Taksi

Foto: bfi.org.uk

“Yah… misalnya menempuh rutinitas yang baru. Kawin dengan lelaki yang mampu memberi nafkah cukup lahir batin, tidak sekadar limpahan materi yang semu belaka, hidup bahagia, punya anak, dan menikmati kehidupan,” saya mengucapkan kalimat tersebut sesantai mungkin. Tanpa beban. Saya ingin mendengar pendapatnya mengenai hal ini.

Sejenak Susan terdiam. Saya kembali melirik ke belakang lewat kaca spion mobil. Susan terlihat sangat cantik. Parasnya yang memukau seperti bercahaya. Ia melepas pandang ke luar melalui kaca jendela taksi yang buram. Seperti memikirkan sesuatu.

“Itu angan-angan yang terlalu ideal, Hamzah,” jawabnya, akhirnya.

“Jangan melihat ini sebagai sesuatu yang naif, Susan. Saya rasa pendapat saya cukup realistis. Tidak mengada-ada. Setiap orang, baik lelaki maupun wanita, pasti pernah berpikir mengenai hal itu: Kebahagiaan hidup berkeluarga. Semuanya akan kembali pada prinsip dan keinginan orang yang bersangkutan, sepanjang ia sadar dan yakin hal itu bakal memberikan ketenteraman bagi jiwanya, hatinya dan segenap aktivitas kesehariannya” saya mencoba melontarkan argumen.

“Kita punya takaran penilaian yang berbeda, Hamzah. Tak akan bisa bertemu. Jangan terlalu banyak bermimpi. Kita hidup berada dalam kemungkinan-kemungkinan. Apa yang bakal terjadi kemudian, kita tak bisa menebak. Dan itu sering tidak persis sama seperti yang kita bayangkan,” ujar Susan lirih dengan bibir bergetar.

Saya menarik napas. Putus asa.

“Apakah Susan menganggap, lakon hidup yang Susan lakukan selama ini sama persis seperti yang Susan bayangkan sebelumnya?”

“Memang tidak sama, Hamzah. Bahkan, sangat jauh berbeda. Saya tidak pernah mengimpikan menjalani kehidupan seperti ini. Tapi, bukankah ini bagian dari kemungkinan-kemungkinan hidup? Tidak berarti saya mengatakan, saya menolak kehidupan berkeluarga. Saya bukan orang yang munafik, Hamzah. Saya tetap mendambakan seorang suami yang dapat menyayangi dan memanjakan saya serta anak sebagai tambatan hati. Namun, kalau saya telah menemukan ketenangan pada profesi yang saya lakoni saat ini, bagi saya bukanlah suatu pilihan yang keliru. Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk memaknai hidupnya.”

“Apa Susan merasa bahagia dengan memaknai hidup dengan jalan ini?”

“Saya tak bisa menjawabnya, Hamzah. Kamu tidak akan pernah tahu ukuran dan nilai kebahagiaan bagi saya seperti apa. Begitu pula sebaliknya. Kita punya ‘nilai rasa’ yang berbeda dalam menakar kebahagiaan” Susan bertutur pelan dengan tidak mengalihkan pandangan ke arah luar taksi.

Saya terdiam. Saya tak bisa berkata apa-apa lagi. Saya sadar, Susan cukup konsisten memegang prinsipnya.

Mendadak, kesedihan merambah dalam hati saya. Hari ini adalah hari terakhir saya bersama Susan. Besok, Susan akan berangkat berlibur ke Singapura dan Australia mendampingi sang Direktur selama sebulan. Saya tidak tahu, apakah Susan akan menyewa “jasa” saya lagi kelak. Bagi saya itu tidak penting. Kebersamaan dengan Susan selama ini, tanpa sadar membangkitkan rasa cinta dan keinginan melindungi dalam hati saya. Saya merindukan dia. Melalui kaca spion mobil, saya melirik Susan. Ia begitu cantik, sangat cantik, saya membatin sekaligus nelangsa.

Kami telah sampai ke tujuan. Saya segera mematikan mesin mobil dan mengumpulkan segenap keberanian yang ada. Susan baru saja hendak membuka handle pintu belakang ketika saya berseru.

“Susan, tunggu!”

Comment