MEDIAWARTA.COM – Bagi kebanyakan etnik Tionghoa, penganan Bacang tak sekadar makanan tradisional Tiongkok yang masih digemari sampai sekarang, akan tetapi menyimpan tradisi kuno terkait kearifan dan pesan moral para leluhur.
Meskipun Festival Duanwu asing di Indonesia, kecuali di Medan dan beberapa daerah dengan mayoritas etnik Tionghoa di Kalimantan, namun salah satu tradisi yang masih dipegang teguh etnik Tionghoa adalah menyantap penganan bacang. Selain itu, bacang, khususnya chai cang atau bacang non daging, juga dijadikah sesembahan bagi Dewi Guan Yin atau lebih dikenal sebagai Avalokitesvara oleh umat Buddha mazhab Theravada.
Sebelumnya, Duanwu atau Peh Cun ini dirayakan untuk mengenang tokoh patriotik Tiongkok kuno, Qu Yuan di masa Sam Kok ribuan tahun lampau. Setelah itu, perayaan ini marak digelar suku Yue di selatan Tiongkok pada zaman Dinasti Qin dan Dinasti Han.
Perayaan yang mereka lakukan adalah satu bentuk peringatan dan penghormatan kepada leluhur yang dianggap berjasa seperti yang telah ditunjukkan Qu Yuan. Lambat laun, setelah terasimilasi secara budaya dengan suku Han yang mayoritas, perayaan ini kemudian berubah dan berkembang menjadi Festival Duanwu yang modern, seperti yang banyak dilakukan negara-negara Asia seperti Taiwan, Hongkong, Makau, Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Indonesia.
Dalam Festival Duanwu, biasanya digelar beberapa kegiatan, di antaranya lomba Perahu Naga. Tradisi perlombaan Perahu Naga ini muncul setelah meninggalnya Qu Yuan yang bunuh diri dengan melompat ke dalam sungai. Dalam perkembangan tradisi ini, keberadaan perahu-perahu nelayan yang mencari jasad Qu Yuan di masa lampau, kemudian diadopsikan menjadi Perahu Naga, yang pada perkembangan selanjutnya, diperlombakan dalam setiap perayaan Duanwu, baik skala regional maupun internasional.
Adapun tradisi lainnya yang sudah pasti adalah menyantap bacang. Tradisi makan bacang secara resmi dijadikan sebagai salah satu kegiatan dalam Festival Duanwu sejak Dinasti Jin. Sebelumnya, walaupun bacang telah populer di Tiongkok kuno, namun belum menjadi makanan simbolik festival ini.
Bentuk bacang sebenarnya bervariasi, tidak hanya berbentuk prisma segitiga. Akan tetapi, yang kita lihat sekarang hanya salah satu dari banyak bentuk dan jenis bacang tadi. Di Taiwan, pada akhir pemerintahan Dinasti Ming, bentuk bacang yang dibawa pendatang dari Fujian adalah bulat gepeng, agak lain dengan bentuk prisma segitiga yang kita lihat sekarang.
Isi bacang juga beragam, bukan hanya daging namun juga ada yang berisi sayur-sayuran (chai cang), ada pula yang dibuat kecil-kecil (mini) namun tanpa isi yang kemudian dimakan bersama saus dari gula merah.
Beberapa tradisi yang asing dan sudah jarang dilakukan pada saat Duanwu adalah menggantung rumput “Ai” dan “Changpu”. Kedua rumput ini adalah jenis ilalang yang banyak dijumpai di Asia. Tradisi menggantung kedua jenis rumput ini lantaran Duanwu yang jatuh pada musim panas biasanya dianggap sebagai bulan wabah penyakit, sehingga rumah-rumah penduduk biasanya melakukan ritual pembersihan dengan menggantungkan rumput ini yang diyakini dapat “menyapu” penyakit-penyakit tersebut.
Selanjutnya, tradisi langka lainnya adalah “Mandi Tengah Hari”. Tradisi ini cuma ada di kalangan masyarakat yang berasal dari Fujian (Hokkian, Hokchiu, dan Hakka), Guandong (Teochiu dan Kengchiu), dan Taiwan. Mereka mengambil dan menyimpan air pada tengah hari Festival Duanwu ini, yang diyakini dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit dengan cara mengguyur atau membasuh tubuh. Air yang diambil pada siang hari saat Duanwu, juga dapat direbus untuk diminum, sebab diyakini dapat menyembuhkan penyakit.
Dalam perkembangannya, Duanwu dirayakan dengan berbagai tradisi yang telah berasimilasi daerah setempat. Festival Duanwu sendiri tak hanya dilakukan oleh etnik Tionghoa, tetapi juga etnik non Tionghoa seperti Korea, Mongolia, dan beberapa negara dengan mayoritas penduduk non Tionghoa lainnya.
Effendy Wongso/Foto: Effendy Wongso
Comment