Semangkuk Acar untuk Tuhan dan Cinta
Oleh Dewi Lestari
MEDIAWARTA.COM – Berikut ini dua pertanyaan yang paling kubenci: Apa itu cinta? Apa itu Tuhan? Aku membenci kedua pertanyaan itu sepenuh hati sampai kudedikasikan seluruh hidupku untuk mencari jawabnya, agar kedua pertanyaan itu berhenti menghantui.
Dan tidak ada yang lebih memahitkan mulut, memualkan perut, menyesakkan jantung, ketika seseorang muncul dengan kertas dan pulpen, atau alat perekam di tengah jam makan siang, saat rahangmu sedang sibuk mengunyah, saat makanan di piring memohon perhatian penuhmu, dan orang itu bertanya:
“Menurut Anda, apa itu cinta?”
Demi sopan santun dan etika budaya, aku tahankan garpu agar tak mencelat ke bola matanya, dan kugenggam erat-erat piringku agar tak pecah jadi dua di atas batok kepala wartawan itu. Aku hanya menggeram dan mengulang:
“Cinta?”
Si wartawan pun berpikir bahwa pertanyaan brilian berikutnya akan memancing jawaban lebih panjang dan lebih mencengangkan, yang akan menghibur para pembaca majalahnya bersama-sama artikel 10+1 cara bercinta paling panas dan peta terbaru menuju spot-spot orgasmik yang selama ini tersembunyi. Dan dia sungguhan nekat bertanya:
“Menurut Anda, apa itu Tuhan?”
Jemariku bergetar, menahan garpu, pisau, piring, gelas, dan benda-benda dalam radiusku yang sangat mungkin kujadikan senjata pembelaan diri atas serangan pertanyaan-pertanyaan paling muskil dijawab tapi selalu ditanyakan itu.
Dan aku teringat baris-baris panjang tentang cinta dan Tuhan yang pernah dimuntahkan mulutku seperti peluru dari senapan otomatis. yang begitu hebat dan jenius hingga menembusi hati orang-orang yang mendengarnya.
Aku teringat buih dan busa di sudut mulutku saat berdiskusi tentang cinta dan Tuhan, yang jika dikumpulkan barangkali bisa merendam tubuhku sendiri di bak mandi. Aku teringat jerih payah, keringat, air mata, pegal-pegal, kurang tidur, tak makan, tak minum, yang telah kutempuh demi mencari apa itu cinta dan Tuhan.
Dan kini, meski sanggup, tak muncul secuil keinginan pun untuk mengutip data dalam ingatanku.
***
Tanpa terburu-buru, kuselesaikan kunyahan, lalu minum air seteguk.
“Begini,” aku mulai menjelaskan, “pertama-tama, dengan mengetahui apa itu cinta, kita akan mengetahui Tuhan. Dan ketika kita mengetahui Tuhan, kita juga jadi tahu apa itu cinta. Jadi, kita bisa mengungkap keduanya sekaligus.”
Mendengarnya, wartawan itu kian mencondongkan badannya ke depan, matanya berbinar antusias. Semakin yakinlah ia betapa cemerlangnya pertanyaan-pertanyaan itu, betapa bermutu dan menantangnya.
Comment