Falsafah Demokrasi Dalam Kebudayaan Bugis

MEDIAWARTA.COM -Jauh sebelum Herodotus memikirkan konsep demokrasi di Athena Yunani, kebudayaan Bugis telah lebih dulu mengajarkan konsep demokrasi melalui Lontara’. Pada naskah Lontarak, banyak ditemukan hal-hal yang sifatnya sejalan dengan nilai-nilai demokrasi dan Hak Azasi Manusia (HAM), seperti yang diperkenalkan sekarang oleh orang-orang Eropa. Lontarak Bugis menjadi sumber referensi dan refleksi bagi para pemegang otoritas kekuasaan di era Bugis masa lampau.

Dalam naskah Lontara’ terdapat kata “amaradekangeng” yang berasal dari kata “maradeka” yang berarti merdeka atau bebas. Ini mencerminkan telah diakuinya azas-azas hak azasi masyarakat yang hidup di bawah naungan kerajaan-kerajaan Bugis masa lampau. Definisi dari amaradekangeng seperti dijelaskan dalam Lontarak sebagai berikut :

Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai: Seuani, tenrilawai ri olona. Maduanna, tenriangkai riada-adanna. Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa.(Yang disebut merdeka hanya tiga hal yang menentukan: pertama, tidak dihalangi kehendaknya, kedua tidak dilarang mengeluarkan pendapat, ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah).

Selain memuat azas-azas HAM, naskah Lontara’ juga sudah menganjurkan sistem demokrasi yang berkedaulatan rakyat, sebagai model ideal dari sistem pemerintahan suatu kerajaan di daerah Bugis. Pengakuan akan kedaulatan rakyat itu merupakan buah pikir dari serang penasehat raja Bone (kajao), bernama La Mellong atau Kajao Laliddong. Gagasan itu tertuang dalam Lontarak Bugis sebagai berikut :

Rusa taro arung, tenrusa taro ade,

Rusa taro ade, tenrusa taro anang,

Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega

(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat. Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum. Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak)

Konsepsi mengenai tata aturan hukum dalam sistem pemerintahan di tanah Bugis itu memperlihatkan, bila keputusan raja masihlah dibatasi oleh aturan adat. Sedangkan aturan adat berada dibawah kehendak rakyat. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai demokrasi yang memiliki pengertian, sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi pemerintahan demokrasi merupakan pemerintahan yang dijalankan menurut kehendak rakyat.

Ajaran Kajao Laliddong dalam Lontara’ ini juga serupa dengan teori yang dicetuskan seorang pemikir Perancis abad 18, Jean Rousseau mengenai volonte generale (kehendak umum) dan volonte de tous (kehendak khusus). Teori tersebut menyatakan bilamana dalam suatu pemerintahan terjadi pertentangan antara kehendak penguasa (volonte de tous) dengan kehendak rakyat (volonte generale), maka kehendak rakyatlah yang harus dimenangkan.

 

 

Comment