Tradisi Bebat Kaki Tiongkok, “Nona Caddi Bangkeng” di Makassar

MEDIAWARTA.COM – Tradisi bebat kaki atau foot binding memang sudah punah, namun sejarah masih mencatat, betapa keindahan di satu sisi telah mengorbankan hak asasi wanita di lain sisi.

Kebebasan yang terpasung akibat tradisi lalim adalah satire masa lalu yang mungkin tidak akan pernah dilupakan wanita Tionghoa kuno di Tiongkok, bahkan imigran Tionghoa yang eksodus ke Nusantara, termasuk di Makassar.

Dulu, di Makassar, wanita Tionghoa yang mengikuti tradisi bebat kaki kerap disebut “Nona Caddi Bangkeng”. Dalam bahasa Makassar, secara harfiah berarti Gadis Berkaki Mungil. Wanita-wanita berjuluk Nona Caddi Bangkeng memang sudah tidak ada lagi, sebab dapat dipastikan semua wanita Tionghoa sudah tidak menjalankan tradisi ini lagi, sementara wanita imigran Tiongkok dipastikan sudah meninggal dan hanya menyisakan jejak dalam bentuk cerita leluhur.

Bebat kaki atau pengikatan kaki adalah tradisi menghentikan pertumbuhan kaki wanita zaman dulu di Tiongkok. Tradisi ini telah menghadirkan penderitaan besar bagi wanita Tionghoa pada masa itu.

Bebat kaki biasanya dimulai sejak anak berumur empat sampai tujuh tahun, akan tetapi masyarakat marginal biasanya terlambat memulai bebat kaki karena mereka membutuhkan bantuan anak perempuan untuk mengurus sawah dan perkebunan.

Bebat kaki dilakukan dengan cara membalut kaki dengan ketat menggunakan kain sepanjang sepuluh kaki dengan lebar dua inci, melipat empat jari kaki ke bagian bawah kaki, dan menarik ibu jari kaki medekati tumit. Hal ini membuat kaki menjadi lebih pendek.

Pembalut kaki semakin diketatkan dari hari ke hari dan kaki dipaksa memakai sepatu yang semakin kecil. Kaki harus dicuci dan dipotong kukunya, karena kalau tidak akan membuat kuku-kuku kaki di kaki yang diikat, akan menusuk ke dalam dan menimbulkan infeksi.

Jika balutan terlalu ketat, maka dapat timbul buku-buku di kaki yang harus dipotong dengan pisau. Kemudian, kaki juga harus dipijat serta dikompres dingin dan panas untuk sedikit mengurangi rasa sakit.

Pengikatan kaki membuat siklus darah tidak lancar sehingga dapat membuat daging kaki menjadi busuk, dan kaki dapat mengeluarkan nanah. Semakin kecil kaki seorang gadis, maka dianggap semakin cantik. Panjang kaki seorang gadis hanya berkisar 10-15 sentimeter.

Bebat kaki sering menyebabkan kecacatan seperti kelumpuhan, bahkan kematian anak-anak perempuan karena infeksi, namun hal ini telah dianggap normal. Bebat kaki juga menyebabkan wanita sangat sulit berjalan dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal ini juga menyebabkan cacatnya wanita tua di Tiongkok.

Bebat kaki dimulai pada masa akhir Dinasti Tang (618-907), dan mulai menyebar pada golongan kelas atas hingga zaman Dinasti Song (960-1297). Pada zaman Dinasti Ming (1368-1644) dan Dinasti Qing (1644-1911), budaya mengikat kaki menyebar luas dalam mayoritas masyarakat Tiongkok, sampai akhirnya dilarang pada pemerintahan revolusi Sun Yat Sen di 1911.

Kelompok yang menghindari adat ini hanyalah bangsa Manchu dan kelompok migran Hakka, yang merupakan kelompok paling miskin dalam kasta sosial di Tiongkok.

Kebiasaan bebat kaki ini berlangsung selama sekitar seribu tahun, dan telah menyebabkan sekitar satu miliar wanita Tiongkok mengalami “siksaan” paling ekstrim di muka bumi.

Effendy Wongso/Foto: Istimewa

Comment