Tak Ada Cinta di Singapura

Foto: Istimewa

“Ah, itulah sakitnya. Waktu itu, mungkin aku terlalu jumawa. Aku malu mengungkapkan cintaku kepadanya. Aku takut apabila ternyata cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Aku selalu ragu, tidak jujur dengan hatiku sendiri. Kupendam perasaan suka itu dalam-dalam selama tiga tahun. Dan ketika aku merasa sudah punya keberanian dan kejujuran, segalanya sudah terlambat!”

“Terlambat?!”

“Yap. Gadis itu sudah tidak berada di Singapura lagi. Aku dengar dari Pengurus Administrasi Sekolah, May Shiang pindah ke Beijing, mengikuti ayahnya yang bertugas sebagai duta besar untuk Singapura, sekaligus kuliah di sana.”

“Kamu bisa berkirim surat atau email. Tanya alamat Kedubes Singapura di Beijing.”

“Percuma.”

“Kenapa?”

“Tiga tahun, setiap hari berdekatan dengannya, sekelas lagi; tapi dasar aku yang bego, tidak dapat memanfaatkan kesempatan itu. Semua itu karena keegoisanku, tidak jujur terhadap diriku sendiri. Bukankah aku telah membuang-buang waktu dengan percuma?”

“Lalu….”

“Ya, mau apa lagi. Meski aku kirimi dia seribu surat dan seratus rangkaian bunga mawar setiap hari pun percuma saja. Tiga tahun aku menampik cintanya secara tidak langsung. Dia pasti sakit hati. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia mau ikut ayahnya ke Negeri Panda itu.”

“Tapi….”

“Yah, sudahlah. Seperti yang kamu bilang tadi. Bubur tidak mungkin jadi nasi kembali.”

Mawar menguraikan bibirnya membentuk senyum. “Terlebih-lebih menjadi padi.”

Mereka kembali terbahak.

“War, aku tidak ingin jatuh ke dalam lubang yang sama. Aku mengatur semua rencana ke kafe ini resmi untuk berterus terang kepadamu. Aku cinta kamu!”

“Hah?” Mawar terkejut, tapi dia cepat mewajarkan sikapnya dengan melontarkan pertanyaan gurau. “Jadi, kamu berniat ‘melamar’ aku sebagai pacar?”

“Yap.” Pemuda itu mengacungkan dua jarinya ke atas. “Mulai hari ini, aku Marcel George Simbolon bersedia menerima Mawarni Stephanus Handoyo sebagai pacar. Dan aku, Marcel George Simbolon bersumpah untuk tetap menyayangi Mawarni Stephanus Handoyo dalam keadaan senang maupun susah, suka maupun duka, dan menyertainya dalam keadaan sehat maupun sakit. Sampai ajal menjemput.”

Mawar terharu. Tak terasa matanya berkaca-kaca. Entah dia harus bilang apa. Dia hanya dapat menggaruk-garuk rambut potongan pendeknya itu meskipun kepalanya sama sekali tidak gatal.

“Ta-tapi, kita ini seperti dua kutub yang berbeda. Aku ini miskin, tahu! Kamu mungkin dapat menerima aku, tapi Papi-Mami kamu belum tentu.”

“Papi-Mamiku tidak seperti dalam sinetron….”

“Maksudmu, tidak matre!”

Marcel mengangguk. Dan itu telah menjawabi segalanya.

Biodata Penulis:

Effendy Wongso, lahir di Bone, 13 Juni 1970. Cerpen-cerpennya tersebar hampir di seluruh majalah remaja nasional. Nominator Lomba Cipta Cerpen Remaja (LCCR) Anita Cemerlang empat tahun berturut-turut, sekaligus salah seorang pengarang paling produktif versi majalah Anita Cemerlang 1996 ini, pernah tercatat sebagai koresponden majalah Anita Cemerlang (1996-1998), pemimpin redaksi majalah Planet Pop (1999-2000), dan Redaktur Pelaksana di majalah Makassar Terkini (2008-2009).

Comment