Brussels, I’m in Love

Denyut kehidupan di Kota Brussels masih berdetak. Di balik kaca jendela kamar hotel, dari kejauhan saya melihat La Boutique Café masih bersinar dengan cahaya penerangannya yang temaram. Beberapa pasang remaja asyik bercengkerama di mejanya masing-masing, dengan ditemani lilin-lilin tirus yang menyala seperti kunang-kunang.

“Candle light dinner!”

Saya menoleh kaget. Erina sudah berdiri di belakang saya. Dia duduk dengan gerak gegas di gigir ranjang. Saya sentuh saklar lampu di sisi kiri bufet setelah menyeret langkah dari ambang jendela. Lampu dinding menyala. Wajah Erina masih semuram siang tadi!

“Sori, saya masuk tanpa permisi.”

“Ti-tidak apa-apa.”

“Kamu belum tidur? Masih mikirin….”

Saya duduk di samping gadis berwajah oval itu. “Siapa?”

Dia menundukkan kepala, memilin-milin bilah anak rambutnya yang menjuntai di bahu. Belum menjawabi pertanyaan saya.

“Jenny….”

“Asyik ya punya pacar bule?”

“Maksudmu….”

“Bisa ber-‘candle light dinner’ setiap malam. Lalu, dengerin ‘Unchained Melody’ dari piano sang pianis sambil ngetos sampanye di café. Uh, romantis sekali!”

“Hei, tapi kami hanya….”

“Eit, jangan bilang gadis berambut emas itu hanya teman.”

“Ta-tapi….”

“Anak-anak juga tahu, kok!”

Astaga! Ini prasangka yang belum berdasar sama sekali meski pun kasusnya beralibi. Tentu saja. Anak-anak cewek adik kelas kami di SMA Regina Pacis yang sepuluh ekor itu asal ngomong menebar jala gosip.

“Gandengan tangan. Apalagi?”

“Kamu salah paham….”

“Sepanjang jalan kenangan. Mengitari Bruparc-Brussels Parc, singgah di Kinepolis nonton film box office Hollywood, makan hamburger dan minum es krim di Quick, lalu….”

Saya menyentuh bahu Erina yang masih menggerimiskan kalimat dari bibirnya.

“Hei, hei. Kami tadi tidak pernah ke sana. Apalagi nonton!”

“Kemana juga tidak ada yang melarang, kok!”

“Tapi, suer! Jenny anaknya memang gaul….”

“Hanya orang gila saja yang tidak tahu kalau gadis agresif itu tergila-gila karena kasmaran sama kamu!”

“Erina Karla Tambunan. Kamu kenapa, sih?!”

“Salah minum obat!”

Gadis prenjak itu beranjak. Meninggalkan kamar saya dengan disertai satu debuman keras pada daun pintu. Saya terlongong tidak mengerti. Gadis itu memang seperti salah minum obat!

Comment