Brussels, I’m in Love

Saya sama sekali tidak pernah menyangka kalau gadis Belgia itu dapat mengutarakan isi hatinya selancar seluncuran es di Zurich. Ternyata dugaan Erina tepat mengena ke sasaran.

Mendadak saya teringat kalimat yang disampaikan Erina malam kemarin.

“Hanya orang gila saja yang tidak tahu kalau gadis agresif itu tergila-gila karena kasmaran sama kamu!”

Tapi, tentu saja bukan perkara gampang kalau saya menanggapi perasaan hatinya yang secepat lesatan anak panah dari tembakan busur itu. Ini masalah dua kultur yang berbeda! Juga karena dalam hati dan benak saya sudah ada nama lain.

Seseorang yang selama ini selalu saya mimpikan!

Tadi pagi gadis bermata biru itu kembali mengusiki saya. Dia membawa burger dan kentang goreng serta soda susu dari Quick, kedai hamburger lokal khas Belgia, mirip McDonald’s. Setelah sarapan pagi hasil bawaannya yang tidak habis kemakan, dia ingin ngajak jalan ke Basilique Koekelberg, gereja termashyur di Belgia. Mengabadikan gambar berdua dengan berlatar lanskap agung itu sebagai kenangan sepanjang masa!

Dan, lagi-lagi saya tidak kuasa menolaknya. Dia menarik tangan saya seperti kebiasaannya. Setengah menyeret, memaksa saya masuk ke Golf GTI-nya. Melajukan mobil dengan santai sampai ke pelataran besar yang dijejali turis dan pedagang suvenir. Masuk ke dalam gereja yang bernuansa klasik. Setelah puas melihat-lihat, di pekarangan gereja megah itu, dia berterus terang bilang suka sama saya. Sama sekali tidak canggung. Justru, saya yang rikuh. Kemekmek seperti orang yang salah minum obat!

Malam ini, saya menceritakan semua kejadian tak terduga itu kepada Erina, setelah dua guru pembimbing dan anak-anak SMA Regina Pacis yang mewakili Indonesia ke event tahunan itu (mereka membawakan tarian Lenong Betawi), sudah pada tidur karena kecapekan.

“Nah, apa lagi?” Erina setengah mencibir. “Dia cantik. Mirip Lindsay Lohan. Tembak saja!”

Tawa saya hendak menyeruak. Bukan karena kalimat yang dia ucapkan. Tapi karena mimik parasnya yang menyeringai lucu. Apalagi dia berlipat tangan dengan wajah yang dibuang berpaling.

“Terima saja. Hitung-hitung, memperbaiki ‘keturunan’!”

“Astaga, Rin. Siapa juga yang mau ‘menikah’?”

“Ras unggul. Jenis blaster biasanya….”

“Hei, memangnya herder apa?”

“Oh, come on. Jangan bertingkah pura-pura lagi….”

“Pacar bule, ih tidak kebayang deh….”

“Apa salahnya?”

“Tidak salah, sih. Tapi, ini bukan ‘ide’ yang baik….”

“Siapa bilang? Jennifer van deer Meyde tidak malu-maluin untuk dijadikan oleh-oleh ‘calon menantu’ buat orangtua kamu.”

“Hei, memangnya dia suvenir khas Brussels yang bisa diboyong seenak hati ke Indonesia?”

Saya terbahak. Gadis itu manyun. Wajahnya muram seperti biasa. Tapi dia jadi kelihatan manis dengan mimik muka oval begitu. Unik. Sepasang pipinya yang memerah itu jadi seperti buah tomat.

“Lagian, dunia entertainment di negeri kita kan lagi ngetren wajah-wajah indo-blaster…..”

“Sekarang oriental Korea!”

“Tapi….”

“Aduh, Erina. Kenapa kamu suka bikin skenario sendiri tentang hubungan asmara fiktif antara Mario Hertasning dengan Jennifer van deer Meyde itu, sih?”

“Tapi, Jenny suka sama kamu!”

“Suka bukan berarti cinta. Tahu tidak, bule memang begitu. Tidak pernah mau menutup-nutupi dan memendam perasaan. Kalau ada apa-apa, langsung bilang. Langsung nembak. Sedari kecil mereka memang sudah terbiasa dengan iklim fair begitu.”

“Seperti cacing kepanasan begitu kamu bilang Jenny tidak cinta kamu?”

“Mau ular kepanasan juga kek, gadis bule itu pembawaannya memang begitu. Mau apa lagi? Memangya harus ditanggapi semua? Hei, aku tidak mau ber-‘poligami’ seratus pacar bule.”

Saya lihat Erina berusaha menahan tawanya. Mungkin dia malu karena sejak kehadiran gadis berambut pirang dengan nama panggilan ‘Jenny’ itu, dia misuh-misuh tiga kali satu hari, persis seperti anjuran minum obat dari apotek.

“Tapi selama ini….”

“Selama ini saya hanya menganggap dia teman. Teman baik.”

“Ta-tapi, gandengan tangan….”

“Bagi bule, jangankan gandengan tangan, ciuman pun dianggap biasa.”

“Ja-jadi, ka-kalian sudah saling nge-kiss?!”

“Tentu saja belum. Kamu pikir bibir saya ini karet penghapus apa, bisa dengan sembarangan menghapus lipstik orang?”

Gadis dengan sepasang lentik bagus pada pelupuk matanya itu sudah tidak dapat menahan tawa. Saya lihat dia sudah terpingkal. Untung malam ini anak-anak ganjen yang berjumlah sepuluh ekor itu sudah dibuai mimpi. Kalau tidak, pasti mereka akan berulah lagi dengan sifat latennya. Mengusili hidup orang lain!

“Eh, Rio. Kenapa sih kamu tidak kepingin punya pacar bule?”

“Tidak mau ya, tidak mau!”

“Memangnya kenapa?”

Saya tidak tahu harus menjawab apa. Lima detik saya membisu sebelum akhirnya menjawab juga dengan kalimat sekenanya.

“Karena aku cinta produk negeri sendiri.”

“Hah, kamu nasionalis sekali!”

“Iya, dong.”

“Kalau begitu, siapa dong produk dalam negeri pujaan kamu itu?”

Saya kembali kemekmek. Membatu atas pertanyaan Erina yang seringan balon udara.

“Nantilah, di Jakarta kamu akan tahu sendiri.”

“Kenapa tidak sekarang saja kamu sebut namanya?”

Saya tersipu. Mungkin bukan waktu yang tepat bila saya ungkapkan perasaan ini kepadanya. Selain karena sudah jauh larut malam dan kecapekan, saya juga belum punya keberanian untuk mengatakan siapa sebenarnya sang idaman hati.

“Oh, come on, Rio. Jangan rahasia-rahasiaan begitu, dong!”

“Sudahlah, Rin. Nanti di Jakarta juga kamu akan tahu, kok.”

Gadis itu masih mendesak. Tapi saya sudah memutuskan untuk tidak mengatakan siapa si Dia itu. Karena segalanya pasti tidak akan terduga.

Comment