MEDIAWARTA.COM – Hiruk-pikuk terjadi di dapur salah satu keluarga bangsawan di Sulawesi Selatan. Tujuh orang ibu sibuk mengolah kaddo minynyak yang dihidangkan pada malam ma’pancing (malam sebelum pernikahan dilakukan) di rumah calon pengantin. Hidangan itu terbuat dari beras ketan, santan, dan aneka macam bumbu. Bahan itu diolah menjadi nasi ketan, dan di dalamnya dipendam ayam goreng.
Kaddo’ minynyak dalam bahasa Makassar berarti nasi minyak. Kaddo’ berarti nasi, sedangkan minynyak berarti minyak atau lemak. Meskipun sama-sama berwarna kuning, akan tetapi berbeda dengan nasi kuning, khususnya dalam hal bahan baku. Nasi kuning terbuat dari beras biasa, sedangkan kaddo’ minynyak terbuat dari beras ketan.
Lauk pauk yang menemani kaddo’ minynyak biasanya ayam gagape, tumpi-tumpi dan telur rebus. Ayam gagape adalah olahan ayam bersantan, yang ditambahkan bumbu dan kelapa sangrai bubuk, sehingga gurih dan wanginya khas. Sedangkan tumpi-tumpi adalah perkedel ikan yang terbuat dari campuran ikan dan kelapa parut, yang diberi bumbu, dibentuk segitiga.
Biasanya kaddo’ minynyak dibuat pada saat ada acara-acara khusus keluarga Bugis Makassar. Salah satunya pada saat acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sampai sekarang tradisi itu masih dipertahankan.
Yang menarik, sebagian masyarakat Bugis Makassar mempercayai bahwa kaddo’ minynyak itu tidak akan matang, kalau bukan orang lanjut usia yang membuatnya. Makanya yang membuat makanan tradisional tersebut, kebanyakan orang yang sudah tua.
Mengapa kaddo’ minynyak seakan menjadi makanan wajib, yang harus dibuat pada acara-acara penting suku Bugis dan Makassar. Dalam konteks budaya Bugis dan Makassar, beras menduduki posisi sangat penting dan sangat dimuliakan. Bahkan ada yang mengangapnya sebagai titisan dewa. Hal itu disebutkan dalam mitologi I La Galigo.
Comment