Semua bahan rujak tumbuk itu didapatnya gratis, tetangga-tetangganya berbaik hati memberi tanpa diminta karena di kebun kebun mereka semua itu tumbuh subur, Salimin tinggal membeli garam dan gula merah di pasar. Anak-anaknya tidak bersekolah, mereka kurus dan kurang gizi. Tetapi mereka anak-anak yang normal dan lincah.
Salimin tak mempunyai biaya untuk memasukkan mereka ke sekolah, sebab untuk makan saja mereka kekurangan. Kebutuhan pokok yang harganya terus naik tak sebanding penghasilan Salimin.
Sering Salimin mendengar perut anaknya berbunyi tanda lapar saat dia terbangun untuk bertahajud, sementara Salimin sendiri pun juga merasakan hal yang sama, hanya karena Salimin rajin puasa Senin-Kamis maka lapar itu menjadi ringan baginya, tetapi tidak dengan anak-anaknya….
***
Tak diduga Salimin, pembangunan masjid itu demikian cepat, Salimin kerepotan berjalan di tempat yang biasa dilewatinya walau dituntun sang istri, pikulan rujaknya makin hari makin berat pula dirasakannya. Rumah-rumah sederhana tetangganya, beberapa batang pohon jambu kelutuk, pisang batu, semua mulai diratakan dengan buldoser. Hari itu mereka langsung berkemas.
“Kang Imin, kami akan pindah hari ini juga, maafkan kalau ada salah-salah kata ya, Kang,” Mpok Sodah, kawan dekat istrinya yang setiap hari mampir ke rumah membeli rujak tumbuknya, memeluk Salimin.
“Aku juga mohon maaf, Mpok. Aku banyak merepotkan.”
“Aku akan sering-sering menjenguk anak-anak dan istrimu nanti.”
“Terima kasih, Mpok….”
Lalu beberapa tetangga Salimin berkerumun, mereka menitipkan tanah kelahiran mereka, beberapa yang lainnya berjanji akan datang untuk ziarah dan mengikuti pengajian jika masjid telah selesai dibangun.
Beberapa kuburan leluhur mereka sengaja dibiarkan tertanam di bawah tanah yang diratakan, mereka tak mau membawa serta tulang belulang itu karena di atasnya toh akan berdiri masjid yang megah, bukan tempat tempat maksiat.
Salimin meneruskan perjalanan memikul jualannya, orang-orang lalu tak peduli, sibuk urusan mereka masing masing.
***
Tersirat di hati Salimin, seandainya rumahnya juga terkena pembangunan masjid itu, mungkin dia tak lagi berjualan rujak. Dia akan membuka warung kecil-kecilan saja, diam di rumah, tinggal menunggu orang menitipkan jualan mereka dan mengambil keuntungan sekadarnya.
Tetapi kemudian bayangan masjid besar itu memenuhi penglihatannya yang gelap. Masjid yang sangat megah dan indah, berkubah berkilauan menantang matahari. Bertetangga dengan masjid itu tentu menjadi orang yang sangat beruntung, pikir Salimin.
Comment