Mata yang Melihat Cahaya

Mesjid itu kini sudah selesai dibangun, kubahnya tinggi menjulang menantang matahari, kuning berkilau megah karena terbuat dari emas murni, bukan sampah emas atau sepuhan belaka. Terdengar orang-orang ramai berdatangan dari segala penjuru untuk salat, mengikuti pengajian atau sekadar melihat-lihat. Salimin ikut menikmati kemeriahan itu dengan bangga, tercium wangi yang tak pernah dirasakannya saat berpapasan dengan para jemaah yang datang dari segala penjuru kota.

Hari ini Salimin menanti azan subuh pertama berkumandang di masjid itu, sebelumnya dia sudah menjalankan salat tahajud sambil mendengarkan bunyi perut anak-anaknya yang lapar seperti hari-hari kemarin.

Salimin pelan-pelan membangunkan istrinya, mengecup kening anak-anaknya yang lelap dibuai mimpi, tetapi dia tak ingin membangunkan anak-anaknya untuk ikut salat karena itu akan menyiksa mereka. Mereka lebih baik tidur daripada menahan lapar di pagi buta.

Salimin dan istrinya mulai meninggalkan rumahnya menuju masjid yang sinar lampu-lampu di seantero halamannya terasa hangat di kulitnya, mengalahkan udara subuh yang berembus lembut. Embun di selasar-selasar dan pintu gerbangnya yang luas dengan bunga-bunga yang tumbuh di antara rerumputan terasa dingin, tetes-tetes embunnya membasahi ujung jari kaki mereka.

Dalam masjid yang megah itu, seusai azan subuh, Salimin salat dan menitikkan air mata bangga akan kebesaran-Nya, hingga dia bertanya dalam hati siapa yang membangun masjid ini, dan kalau ada yang memilikinya siapa dan seperti apa rupa wajahnya. Bahwa, dia kini tengah salat berjemaah di masjid yang membuatnya lelah berjalan dari rumahnya, pantaslah kalau masjid ini salah satu yang terbesar di dunia.

Kemudian doanya kepada Allah agar dia bisa dapat melihat keindahan masjid di dekat rumahnya ini, yang selalu jadi bahan perbincangan di mana-mana, terutama kubahnya yang berlapis emas itu, tetapi sayangnya dia tak memiliki mata itu….

Comment