Mata yang Melihat Cahaya

Salimin sudah lama sangat ingin melihat keindahan masjid di dekat rumahnya saat mulai pertama dibangun dulu, tidak hanya bisa mencium dingin lantainya saat sujud atau merasakan angin yang berputar di antara pilar-pilar raksasa berlapis granit yang lampu-lampu kristalnya berkilauan cahaya saat dia salat kini. Telah jadi “ketentuan” baginya memiliki mata yang tak bisa melihat, dan itu sangat disesalinya kini. Tetapi kemudian dia cepat beristigfar berkali-kali mohon ampun.

Yang dirasakannya, Allah hari ini sangat dekat dengannya, lebih dekat dari jantung dengan detak dalam dadanya. Allah tak beranjak mendengar untaian doa, zikir, dan tasbihnya hingga terbit fajar. Bening air matanya berjatuhan dari kedua bola matanya. Usai salat, Salimin dituntun istrinya keluar dari masjid. Salimin mengetuk-ngetukkan tongkat penunjuk jalannya ke lantai masjid dengan hati-hati karena takut ujung tongkatnya yang tajam akan menggores lantai marmer yang dilaluinya.

Tiba di selasar yang panjang ratusan meter, sebelum mengambil jalan menuju rumahnya, Salimin dan istrinya dikejutkan kehadiran anak-anak mereka yang menjemput, tak pernah terdengar suara mereka segembira pagi ini. Mereka lalu berebut menanyakan adakah kue-kue atau nasi dalam kotak untuk mereka seperti yang biasa dibawa Salimin sehabis menghadiri acara syukuran.

Salimin hanya bisa mengelus kepala anak-anaknya sebelum senyum mereka redup, dan tiba-tiba dia seperti bisa melihat senyum dan bola-bola mata bening di wajah-wajah mereka bersama terbit fajar tanda kebesaran-Nya. Bola-bola mata itu sangat bercahaya. Tetapi mesjid memang tak menyediakan makanan, dan hanya tempat berzikir dan berdoa.

Salimin segera mengajak anak-anaknya pulang, fajar mengiringi langkah-langkah kaki kurus mereka sebelum kemudian langit berubah mendung. Dengan rasa malu kubah-kubah emas yang berkilauan segera menyembunyikan cahayanya hingga jauh ke balik awan.

Biodata Penulis:

Ganda Pekasih, lahir di Jakarta. Pria jangkung berkacamata minus ini merupakan penulis senior di berbagai majalah remaja nasional. Karyanya sudah mewarnai berbagai media seperti Hai, Gadis, Aneka-Yess!, Gaul, Nova, Kartini, Femina, Anita Cemerlang, dan masih banyak media cetak lainnya. Selain itu, novel maupun noveletnya sudah banyak diterbitkan penerbit nasional seperti Lingkar Pena dan Mizan Pubhlising. Saat ini, selain menulis fiksi, ia juga menulis naskah skenario sinetron untuk beberapa Production House di Jakarta. Ia pernah menjabat sebagai redaktur fiksi di majalah Anita Cemerlang.

Comment