Mawar Kecil di Sudut Hati

Tia mengibaskan tangannya dengan gerak kasar. Itu sudah cukup membungkam kalimat Adelia. Gadis itu menunduk, dan perlahan mundur tiga langkah dari hadapan kakak angkatnya yang tiba-tiba jadi segalak singa hamil.

Buukk! Suara ‘buk’ yang terdengar kali ini akibat hempasan tubuh Tia ke atas sofa. Untung tuan rumah Tuan dan Nyonya Anwar tidak sedang berada di rumah. Jadi dia bisa seenaknya melakukan apa saja termasuk melupakan tata-krama tentang duduk yang manis dan anteng di atas sofa. Dan, hhmm! Ini kesempatan emas untuk membalas sakit hati. Mumpung pengawal pribadinya masih mengurusi tetek-bengek perkantoran.

“Lia Manis, sini… duduk dekat Mbak, ya?” Mendadak Tia berubah menjadi manis.

Adelia mengernyitkan kening. Tapi cuma sebentar karena dia sama sekali tidak begitu ambil peduli terhadap sikap aneh kakak barunya itu. Kalau dia bisa sedikit bersikap ramah dan sefamilier ini, bagi Adelia itu sudah merupakan anugerah yang besar dari Tuhan untuknya.

Tentu saja dia tidak bisa menolak panggilan Tia yang merupakan angin segar baginya. Sebab sebelum-sebelumnya, tersenyum pun Tia tidak pernah. Apalagi bermanis-manis seperti barusan. Jadi dia mendekat tanpa rasa takut-takut.

“Ada apa, Mbak?” Adelia bertanya antusias. Lantas duduk di sebelah kakaknya yang terlebih dulu duduk di sofa dengan gaya bebas.

“Lia kerasan tidak di rumah ini?” Tia memepetkan mukanya nyaris menyentuh kepala Adelia.

Adelia manggut keras-keras. “Ke-kerasan, Mbak. Lia kerasan banget.”

“Bagus.” Tia mengacungkan jempolnya.

Bola mata Adelia bersinar senang. Rasa canggung yang menyertai hari-harinya belakangan ini tiba-tiba sirna. Berganti menjadi keakraban yang menghangatkan.

“Mbak Tia mau nanya sama Lia. Boleh?”

Adelia menelengkan kepalanya, merasa heran atas permintaan Tia yang bersopan-sopan begitu. Tapi lagi-lagi cuma sebentar.

“Tentu saja boleh, Mbak,” jawabnya cepat-cepat.

Tia mempermainkan bola matanya. Pipinya digembung-kempiskan sebentar-sebentar. Seakan dia ragu melontarkan pertanyaan yang telah tersusun rapi di benaknya.

“Lia fair saja, ya? Kenapa Lia mau ikut tinggal di sini?” Tia menombak dengan kalimat blak-blakan.

Adelia tercenung. Sontak tangannya mengejang seolah menggapai-gapai udara. Mulutnya menganga.

Ya, kenapa? Adelia bingung dan entah harus menjawab apa. Tiba-tiba hatinya giris dan sejurus dilingkupi kegamangan serta keterasingan. Di sini dia sendiri! Tidak ada Adenia, tidak ada Odi, tidak ada si Belang kucing piaraannya. Terlebih tidak ada Mama!

“Untuk apa, Adelia Manis?” cecar Tia tengil.

“Lia cu-cuma….”

“Cuma pingin nyicipin harta ortu saya, kan?” Tia memintas menimpali. Sama sekali tidak merasa iba melihat Adelia bermuka pucat-pasi begitu. Plong rasanya setelah dia mengeluarkan unek-unek hatinya.

Comment