Mawar Kecil di Sudut Hati

Adelia memejam-mejamkan matanya. Dirasakannya pelupuk matanya membasah.

“Lia tidak seburuk prasangka Mbak Tia…,” bela Adelia tersinggung.

“Itu alasanmu. Tapi, dalam kenyataannya kamu selalu mencari-cari muka di hadapan Papi-Mami,” sanggah Tia ketus. Bibirnya mencibir.

“Lia hanya bersopan-santun kepada mereka. Apa salahnya? Mereka toh orang tua Lia juga,” Adelia nekat menentang.

Dan itu semakin membarakan amarah di hati Tia. Anak ingusan ini sudah berani melawan! Dikiranya dia siapa?! Hm, anak cengengesan ini perlu dikasih pelajaran. Biar dia nyaho!

“O, jadi bersopan-santun menurutmu kalau kamu bermanis-manis begitu?” Tia merapatkan rahangnya.

“Bermanis-manis bagaimana?” Adelia bertanya, tak bermaksud menantang untuk berdebat. Kalimat itu spontan dari mulutnya. “Lia merasa tidak bersikap tengil dan berlebih-lebihan, kok.”

“Tidak berlebih-lebihan?! Hah, kamu pikir saya tidak tahu apa yang ada di otakmu itu, Adelia Manis?” Tia melototkan mata serupa ikan maskoki. “Saya bukan orang yang gampang dikibuli. Sayang, maksud dan tujuan kamu terlalu mudah untuk saya ketahui.”

“Tapi….”

“Jangan mencari-cari kalimat yang tepat untuk membela diri, Lia! Bukti sudah bicara. Kamu selalu, secara halus, mendesak Papi-Mami untuk dibelikan ini-itu. Nah, sekarang kamu mau bilang apa?”

“I-itu mereka yang memberikan kepada Lia. Sama sekali tidak ada dalam niatan Lia mendesak agar dibelikan apa-apa.” Adelia sudah terisak. “Ka-kalau Mbak Tia tidak percaya, sekarang juga Lia kembalikan semua barang-barang itu!”

Adelia urung beranjak karena pergelangan tangannya keburu dicekal Tia.

“Tidak usah, Lia. Barang-barang itu toh sudah menjadi milikmu. Saya bukan mau memintanya.” Tia belum melepaskan cekalannya.

“Mbak Tia, percayalah! Lia tidak seburuk….” Adelia duduk.

Tia menarik napas, lantas, “Harusnya kamu merasa sendiri. Bagaimana sikapmu pada waktu merebut simpati Papi-Mami, sehingga mereka begitu saja melupakan seorang Tiana. Kamu merebut segalanya dari saya, kasih, cinta… dan segalanya! Apakah itu tidak cukup sebagai bukti dosa-dosamu? Apakah masih perlu bukti-bukti lain?!”

“Mbak Tia….”

Tia tak menggubris suara yang memelas itu. Dia beranjak ke dapur.

“Kalau Mbak Tia merasa kehadiran Lia di sini membawa masalah, baik, besok Lia akan pulang ke kampung. Tapi… Lia berharap Mbak Tia tidak mendendam kepada Lia. Sungguh, sejak hari pertama Lia di sini, Lia sudah mencintai Mbak Tia selayaknya kakak kandung Lia sendiri.” Dengan putus asa Adelia berkata, meskipun dalam nada patah-patah.

Tia cuek. Membersihkan tangannya di wastafel. Perutnya sudah minta diisi sedari tadi.

Comment