Mawar Kecil di Sudut Hati

Tia ingat, sehabis pulang misa Minggu pagi, Papi-Mami membawa seorang gadis mungil ke rumah. Cantik, tapi noraknya minta ampun. Lihat saja model rambutnya yang minus begitu. Padahal, sebaya-sebayanya sudah memotong rambutnya semodis mungkin. Eh, anak ini malah masih mengangungkan model rambutnya ala tempo doeloe. Dibiarkan meranggas sampai ke pinggang lalu dikepang dua. Dan, busananya lebih minus lagi. Kemeja lengan panjang dipadu celana panjang berpipa lebar. Ih, mirip pesilat yang lagi kesasar!

Tia tersenyum. Pasti Papi-Mami merencanakan membuat surprais untuknya. Barangkali gadis ini adalah tukang sirkus. Entahlah.

“Tia, ini Adelia. Dia adik barumu.” Mami bicara.

Tia merasakan kepalanya puyeng. Adik? Lha, sejak kapan dia punya adik sekampungan ini? Hihihi. Tia tertawa dalam hati. Geli dia memikirkan kejutan yang disuguhkan Papi-Mami. Dari mana pula mereka memungut si Gugup ini?

“Se-selamat pagi, Mbak. Sa-saya Adelia. Tapi Mbak cukup memanggil saya Lia saja.” Gugup gadis itu mengulurkan tangannya.

“Tiana.” Tia membalas. Dan, “Eh, kamu tukang sirkus ya?”

“Tia!” Mami melotot di akhir tegurannya. Disadarinya sifat putri satu-satunya ini. Dia kekanak-kanakan dan manja sekali. Juga blak-blakan, dan sedikit keras kepala.

Tia cekikikan. Sementara gadis bernama Adelia itu menundukkan kepalanya malu-malu.

***

Dan mulai saat itulah, Adelia hadir dalam hidup Tia sebagai seorang adik. Sebagai seorang adik sebab Adelia terpaut dua tahun di bawah umur Tia yang tujuh belas.

Namun harapan tinggallah harapan. Apa yang diharapkan Papi-Mami tidak menjadi kenyataan. Tia ternyata tidak aplaus sama sekali terhadap perubahan yang diberikan Papi-Mami. Kesepian, kesendirian, dan kesunyian nyatanya sudah mendarah daging dalam diri Tia.

“Tia tidak butuh seorang adik!”

Mami menangis. Entah dia harus ngomong apa lagi atas kebekuan hati Tia. Adelia minggat! Tadi pagi sebelum dia berangkat ke kantor bersama Papi, ditemukannya sepucuk surat. Surat dari Adelia!

“Kenapa, Tia?” Papi angkat bicara setelah sedari tadi hanya diam menghisap rokoknya. “Apakah Adel nakal? Atau… pernah menjahati Tia?” Dia lebih suka menyebut ‘Adel’ ketimbang ‘Lia’ bila memanggil Adelia.

Tia tertegun. Hatinya kecut. Pertanyaan Papi barusan seperti menghakiminya. Sesungguhnya dia sendiri tidak tahu mengapa sampai membenci Adelia. Padahal, anak itu tidak pernah berlaku buruk kepadanya. Malah dia sopan, selalu ingin menyenangkan hati Tia dengan bercerita tentang keluarganya di kampung.

Tentang Adenia yang sedang lucu-lucunya karena baru bisa ngomong sedikit-sedikit dan cadel. Tentang Odi yang ompong, yang sering mengkhayalkan dapat naik pesawat terbang. Tentang si Belang yang nakal, yang selalu nyolong ikan di atas meja makan. Juga, tentang Mamanya yang sering bercerita, sekalipun mereka miskin tapi setidak-tidaknya mereka pernah mengecap arti menjadi orang kaya.

Comment