Bidadari dari Langit

Foto: Effendy Wongso, Model: Iin Mutmainah

“Zal, tadi aku ada kuis. Sama Pak Untung.” Gadis berwajah bayi itu membuka percakapan lagi.

“He-eh.” Zaldi mendesis tanpa mengangkat mukanya.

“Hei, Zal!” Tidak sabaran gadis itu. Dicondongkannya badannya yang langsing itu nyaris menyentuh hidung bangir Zaldi. “Tadi aku ada kuiiss!” jeritnya keras-keras saking gusar tak dianggap begitu.

Kembali ia menyita perhatian seisi ruang perpustakaan. Kali ini ia tidak peduli. Ia sudah terlanjur jengkel dan kesal sama Zaldi, yang anteng-anteng saja seolah patung lilin.

“Iya, iya. Aku tahu,” Zaldi bicara kini, terdengar kalimat ketus pada berat suaranya. “Tapi jangan teriak-teriak gitu, dong! Aku belum budek, kok.”

Gadis itu membelalakkan matanya.

“Kalau tidak budek, lantas apa?” balasnya ketus.

Zaldi diam. Tak bermaksud ambil peduli terhadap kelakuan gadis di depannya itu. Ia hendak melanjutkan kembali bacaannya, tapi gadis itu merampas buku yang berada di genggamannya dengan paksa. Hampir-hampir robek buku itu, seandainya ia tidak mau mengalah untuk melepaskan buku itu.

“Apa-apaan sih, Ren?!” Zaldi melototkan matanya. Bersikap lebih galak dari macan yang ada di bonbin. “Kembalikan!” tegasnya separuh membentak sembari membenarkan letak kacmatanya yang agak melorot ke bawah.

“Tidak!” tolak gadis itu dengan suara gemas-manja. Buku tersebut disembunyikannya di balik kursi. “Tidak akan kuserahkan buku ini kepadamu sebelum aku dianggap!” alasannya.

“Mauren, dewasa sedikit kenapa, sih?” Zaldi melunakkan suaranya. “Kamu kan, mahasiswa. Bukan anak-anak lagi, dong?”

Tapi dasar gadis kepala batu. Bukannya mengalah, malah meledek serta meleletkan lidahnya sesaat. Persis kelakuan kanak-kanak usia belasan.

Zaldi hanya sanggup menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Oke-oke. Kamu mau nanya apa? Aku siap menjawab semuanya!” Akhirnya Zaldi mengalah. Ditangkupkannya tangan di atas meja. Seolah ia seorang penelis yang bersiap-siap menjawab semua pertanyaan yang akan diajukan padanya.

“Nah, gitu dong.” Gadis yang bernama Mauren itu tersenyum jumawa. Menyembulkan dua keindahan alami di imut-imut parasnya. Sepasang lesung pipi dan sebuah gingsul di balik sudut kiri bibir, itulah.

Zaldi kembali menikmati diam-diam keindahan itu. Tapi, apa pantas aku menikmatinya? Apakah aku punya hak? batinnya resah. Selanjutnya secepat kilat digebahnya lamunannya sendiri dengan bertanya.

“Mau nanya apa, Ren?”

“Tadi….”

Zaldi menyalib. “Kamu ada kuis, kan?” Dipotongnya kalimat Mauren yang baru juga mau take-off.

“Dengar dulu, Zal!”

“Oke, oke,” Zaldi sedikit keder melihat Mauren yang mendadak menjadi Nona Galak. Ia tersipu.

“Tidak habis pikir aku, kok Pak Untung tega ngasih kuis yang bisa bikin botak kepala.” Mauren ngedumel. Mengeluh tentang dosennya yang satu itu.

“Trus?”

“Pasti anjlok deh mid-semesterku kali ini.”

“Lalu?”

“Berarti tiket ke Sydney melayang sudah.”

“Lantas?” Zaldi menggoda, ia hanya manggut-manggut kala Mauren tengah serius. Nada kalimatnya cuek dan ringan banget. Sementara tangannya sibuk mencari-cari sebuah buku roman yang bertumpuk di tengah-tengah meja untuk dibacanya.

Dan, “Aauhh!” ia meringis. Nona Galak Mauren gusar setengah mati. Dijentiknya jari-jari tangan Zaldi yang hendak menjangkau salah satu buku roman itu. Matanya melotot sebulat bola pingpong.

“Zaldiii…! Serius, dong!” damprat Mauren gemas.

“Oke, oke,” Zaldi terkekeh. “Aku akan dua rius malah.”

Mauren kesal. Diempaskannya napas dengan keras. Dibuangnya pula muka dengan gerak kasar. Tangannya berlipat kaku di dada.

Zaldi kembali menderaikan tawa. Ia terpingkal-pingkal sembari memegang perutnya. Ia berhasil membalas mempermainkan Mauren.

Tapi….

Sekelebat bayangan silam di salah satu belahan hidupnya tiba-tiba memukulnya sampai tersuruk ke dasar yang paling dalam. Ia sadar! Ia tidak pantas untuk siapa-siapa. Pun pada bidadari yang ada di hadapannya itu.

Diliriknya kakinya yang kecil sebelah dengan perasaan gamang. Ah, seandainya saja aku tidak cacat, sesalnya.

Comment