Bidadari dari Langit

Foto: Effendy Wongso, Model: Iin Mutmainah

“Eh, mau kemana, Kak?” cegat Rizka, menarik tangan Zaldi untuk tetap duduk di kursinya. Zaldi sudah tidak tahan. Dan hampir saja berlalu dari ruang makan.

“Ada apa, sih?” Zaldi jual mahal. Merasa dibutuhkan.

“Mau tahu tidak?” tanya Rizka dengan kenes.

“Soal apa?”

“Mauren.”

“Dia bilang apa?”

“Hm, tidak pesan apa-apa. Riz tadi bilangin ke dia bahwa Kak Zal ke gereja. Entar di-call lagi, deh. Cuma itu,” jelas Rizka, merasa iba melihat kakaknya yang resah bermuka butek banget. Ia pun akhirnya berterus terang.

Zaldi melangkah keluar. Benaknya baur diimbuh beragam kalimat tanya. Untuk apa Mauren meneleponnya? Tidak biasanya ia begitu. Kan setiap hari juga mereka dapat bertemu di kampus? Lalu, buat apa ya?

“Eh, Kak Zal…,” teriak Rizka menghentikan langkah kakaknya yang sudah di ambang tangga. “Mauren cantik, ya?”

“Tidak tahu!” balas Zaldi masa bodoh sembari meneruskan langkahnya menapaki anak-anak tangga.

“Dengar namanya yang bagus saja, pasti deh orangnya juga kece,” goda Rizka blak-blakan tanpa takut merasa berdosa membuat wajah Zaldi memerah-dadu kayak kepiting rebus.

Zaldi pura-pura cuek. Padahal di dalam hatinya bergemuruh rasa yang ia sendiri tidak tahu apa namanya.

“Kak Zal… rasanya Riz kepingin banget deh punya calon kakak ipar!” Rizka semakin gencar menggoda. “Biar bisa ngebantuin nyelesaikan pe-er. Hehehe….”

Zaldi melotot. Diputarnya tumit. Bermaksud mengejar gadis gembrot Rizka yang nakalnya minta ampun itu. Tapi urung dilakukannya tepat ketika Mama keluar dari ruang dapur. Dan anak nakal itu sembunyi di belakang punggung Mama, nyengir-nyengir seperti kuda Sumba.

***

Zaldi melewati koridor kampus yang lengang dengan tertatih-tatih. Tiap kali ia memang begitu. Polio yang menyerangnya dengan ganas sewaktu masih kecil, menyebabkan ia sulit berjalan normal. Tapi kakinya yang kecil sebelah tidak menyurutkan semangatnya untuk meraih cita-cita. Buktinya sudah dua semester dilaluinya, indeks prestasinya selalu Cumlaude.

Cuma….

“Zal… Zaldi.”

Lapat didengarnya suara mezosopran memanggil namanya. Ditolehnya dengan malas. Siapa lagi kalau bukan Mauren? Bidadari yang mengakrabi hari-harinya di kampus sejak mapram lalu.

“Ada apa, Ren?” Zaldi bersuara asal-bunyi. Diteruskannya langkah yang tertahan beberapa detik tadi.

“Kemarin pagi aku meneleponmu,” ujar Mauren sembari berusaha mensejajari langkah-langkah Zaldi. “Tapi kamu tidak ada.”

“Tahu. Buat apa?” Sinis terucap kalimat itu dari bibir Zaldi.

“Buat apa?!” Mauren sedikit tersinggung. Napasnya terengah-engah saat di persimpangan koridor. Sesekali pula ia berkelit menghindar bertabrakan dengan dua-tiga mahasiswa yang berjalan lurus ke arahnya.

“Ya, buat apa?” Zaldi mengulangi kalimat Mauren. Ia berhenti sejanak, kemudian melayangkan pandangan tidak senang pada Mauren. “Terus terang, aku tidak senang kamu meneleponku!”

Alis Mauren terangkat tinggi. Bibirnya terlihat bergetar.

“Ke-kenapa?” tanyanya tidak mengerti bercampur rasa cemas yang sangat.

Zaldi tak menjawab. Ditariknya kaki melangkah kembali. Gedung perpustakaan yang ditujunya tinggal beberapa meter lagi ketika dirasakannya jemari Mauren menghela lengannya.

Comment