Cinta di Horizon Baur
Oleh Effendy Wongso
MEDIAWARTA.COM – Dari dek yang paling atas, Andi Mariana Rosanti Petta Padjalangi melepaskan pandangannya ke bawah dengan rasa puas. Dihirupnya dalam-dalam bau laut yang sudah terasa memasuki gerbang pelabuhan tadi. Hm, segar! gumamnya dalam hati.
Dia pun tersenyum sendiri. Lihat laut, sekonyong-konyong dia dihadapkan kembali ke masa kanak-kanaknya. Waktu dia masih kecil, Tetta (sebutan ayah bagi bangsawan Bugis Bone), selalu mengajaknya ke Pelabuhan Bajoe, Watampone. Di sana, Tetta biasanya mancing ikan. Dan dia sendiri yang memegang keranjang kecil hasil tangkapan ikan Tetta. Uh, mengasyikkan sekali.
Ngung….
Riana terkesiap. Pluit kapal yang nyaris menulikan pendengarannya itu membuyarkan semua lamunan masa kecilnya. Dirapatkannya jaket pemberian Bram kemarin. Dielus-elusnya jaketnya kemudian. Dia teringat Bram….
“Untukmu, Riana.” Cowok bermata sipit itu mengangsurkan sebuah kotak lebar persegi padanya. Kemarin sore, saat dia sedang berkemas-kemas.
“Apa ini?” Dia bertanya dengan mata yang membola. “Duh, Bram. Kan, aku tidak pergi selamanya. Cuma melepas kangen saja sama orang rumah di Watampone. Jadi kamu tidak usah pakai acara ngasih-ngasih apa-apa segala.”
“Eit, jangan bilang kamu tidak mau menerimanya.” Bram menyergah sembari mengurai senyum tipis.
“Kamu….”
“Sudahlah, Riana. Buka saja.”
Dengan berat hati, dia akhirnya menerima kotak itu. Bram memang baik. Entah dia harus membalas pakai apa atas kebaikannya itu. Dua tahun diakrabinya sepotong hati yang sungguh-sungguh tulus mencintainya.
Hatinya berbeban.
Bram tidak tampan. Bodinya gembrot. Matanya sipit. Tapi, hatinya baik. Perhatian-perhatian yang sekecil apapun, yang kerap ditujukan kepadanya membuatnya bertekut lutut, dan hal tersebut pulalah yang menjadi daya tarik Bram di matanya. Diakuinya, dia tidak kuasa menolak ketika Bram mengungkapkan perasaan cinta kepadanya.
Kotak itu perlahan-lahan dibukanya. Dan dia tidak pernah dapat menerka apa yang diberikan Bram. Cowok itu selalu bikin surprais. Pada ulang tahunnya yang ke-17 lalu, Bram menghadiahinya sebuah liontin emas berbentuk bintang. Uh, betapa bahagianya dia saat itu. Dan, entah dia harus mengucapkan apa sebagai ungkapan terima kasihnya yang dalam. Sebab dia tahu, untuk membeli kalung itu, Bram pasti banting-tulang kerja serabutan di mana saja!
“Bram, ka-kamu….”
Memang, pemberian Bram kali ini pun sama sekali tak terduga-duga. Sebuah jaket coklat bertulis NBA besar-besar di belakangnya. Wow, jaket itu entah sudah wara-wiri beberapa ratus kali di pelupuk matanya. Dan untuk saat tertentu hanya dapat menjadi bagian dari skenario mimpinya.
Namun kini, tanpa disangka-sangka Bram mengejawantahkan mimpi-mimpinya tersebut menjadi kenyataan. Jaket kulit mahal senilai setahun uang kosnya di Jakarta itu menjadi miliknya sekarang!
“Sudahlah, Riana. Anggap saja jaket ini sebagai aku, yang setiap saat melindungi dirimu dari dingin.”
“Te-terima kasih, Bram!”
Segalanya yang terbaik untukmu. Itu yang selalu dikatakan Bram kepadanya. Bram tidak peduli seandainya kuliahnya tertinggal lantaran bekerja siang-malam. Mengumpulkan uang demi uang untuk membeli jaket yang sudah lama diidamkan Riana. Dia tahu Riana naksir jaket tersebut. Makanya, tanpa sepengetahuan Riana dia bekerja. Dan, alhasil jaket itu dipersembahkan untuk Riana saat dia ingin pulang ke Watampone.
Ngung….
Riana kembali terkesiap. Kapal sudah akan berangkat. Riuh suara para pengantar berbaur dengan bunyi pluit kapal membahana mewarnai Pelabuhan Tanjung Priok. Sayang Bram tidak dapat mengantarnya. Mendadak dia ada tentamen sore hari itu di kampus.
Comment