Cinta di Horizon Baur

Hai, Anda….” Ada suara cowok yang terdengar di sampingnya.

Riana menoleh. “Panggil saja nama saya, Riana,” sahutnya santun. Dia paling tidak suka berformal-formal begitu. Pakai, ‘Anda-Anda’. Kesannya kaku.

Cowok berbadan atletis itu terlihat sedikit rikuh. Hanya sebentar, karena pada tindak berikutnya dia sudah mengusai suasana. Diulurkannya tangannya di bawah perut Riana. “Oo, kenalkan, nama saya Rio. Rio Matulessi.”

Riana menerima dan membalas jabatan tangan cowok berlesung pipi itu.

“Tujuan ke mana?” tanya Rio simpatik.

“Makassar.”

“Kita sejurusan, dong!” lonjak Rio spontan, kembali mengangsurkan tangannya. Kali ini ke muka hidung Riana, bermaksud ngetos.

Riana tertawa melihat tingkah lucu Rio.

Sementara itu, KM Umsini bergerak perlahan meninggalkan pelabuhan. Lima menit kemudian cakrawala telah menjingga. Sekelebat camar-camar berterbangan di latar horizon. Ada bola merah yang tenggelam separo ke laut barat. Indah sekali. Dan, sebentar lagi semuanya akan menjadi gelap. Dingin angin laut sudah terasa menggigit. Namun Riana betah di luar. Rio, kenalan barunya itu pandai membawanya ke suasana yang menyegarkan. Ceritanya asyik-asyik.

Sepuluh menit pun berlalu. Gelap. Kapal sudah bergerak cepat. Melaju membelah ombak di laut lepas.

“Kamu kedinginan?” tanya Rio prihatin. “Masuk, yuk?”

Riana mengangguk. Bareng Rio, diseretnya langkahnya ke arah tangga turun menuju kamarnya yang berada di sisi utara dek lima, setelah sepakat untuk bertemu kembali dengan Rio di tempat yang sama sehabis santap malam nanti. Rio mengantarnya sampai di muka pintu kamarnya. Lalu cowok tampan itu melangkah menuju kamarnya di kelas tiga dek empat.

Di kelokan koridor, punggung Rio tiba-tiba berganti dengan wajah Bram di matanya. Cowok yang mengakrabi hari-harinya itu berdiri terpaku dengan tatapan yang mengguratkan kepedihan. Dikerjap-kerjapkannya matanya. Tidak ada Bram dengan tatapan ganjil di ujung koridor sana. Yang ada hanya sosok Rio yang menirus lantas menghilang di kelokan koridor. Cuma ilusinya.

Sebongkah galau menyesaki dadanya. Kedekatan yang tercipta barang sekejap bersama Rio tadi menggamangkan hatinya. Ada sesuatu yang seperti runtuh berderai di hatinya. Kesetiaan! Ya, kesetiaan yang sekian lama selalu ditumbuh-mekarkannya, kini layu perlahan-lahan. Tanpa disadarinya ada gejolak lain yang mengaliri nadinya.

Selama ini hari-hari bersama Bram terasa menjenuhkan. Monoton. Tak ada gairah baru yang mengkaribinya. Cowok itu hampir-hampir tidak punya waktu lagi bersamanya. Dia sibuk dengan kuliahnya. Juga kerjanya yang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya itu. Namun, Bram setia kepadanya. Dan itu membelenggunya.

Comment