“Tidak usah terlalu formil. Cukup Faizal saja. Atau, Zal!” Kembali kupotong kalimatnya yang belum rampung. Ia kelihatan kikuk.
“Baik,” katanya sedikit jengah. “Faizal ke suster piket menanyakan lokasi kamar Ny Ni….”
“Nina Adinata. Kebetulan ibu saya,” jelasku mantap.
Ia mengangguk. “Ya-ya,” katanya sambil menguraikan senyum tipis. Di atas garis sudut bibirnya merekah lesung pipit indah. “Eh, maaf. Saya permisi dulu. Ada pasien diabetes yang memerlukan bantuan di Gedung Anggrek,” alasannya memohon diri.
Aku manggut. Mengantarnya dengan seulas senyum manis. Kuamati lumat sosoknya yang kian menirus, lantas menghilang di tikungan koridor.
Aha, awal yang manis menurutku. Betapa tidak, pada senyumnya, pada bola matanya, pada hidungnya, seakan memiliki daya magis yang kuat hingga aku dibuat tak berdaya serta terpana luar biasa. Sampai-sampai….”
Masya Allah!
Kutepuk jidatku keras-keras. Mengapa aku sampai lupa mencari kamar Mama?
Kupergegas langkahku ke suster piket di sudut sana.
***
“Zal….”
Tak kuacuhkan panggilan itu.
“Faizal!”
“Hm, ada apa, Ma?”
“Mana adikmu?” tanyanya, sembari berusaha mengganti posisi baringnya. Sedari tadi juga ia begitu. Bolak-balik kanan-kiri, dengan mulut yang nyaris tak pernah berhenti mendesah gelisah.
“Katanya, ke rumah teman. Mengerjakan pe-er bersama,” jawabku malas, berusaha mengumpulkan kembali serpih-serpih konsentrasi yang buyar tadi oleh panggilan Mama. Tanggung rasanya membaca setengah. Lagi pula ceritanya semakin menarik. Konfliknya pun mulai memanas. Lucu pula.
“Zal….”
Kuempaskan novel ke atas meja kecil di samping ranjang Mama dengan kesal. Sia-sia saja aku membangun konsentrasi baru. Kini semuanya telah terburai-acak. Runtuh seketika akibat panggilan Mama yang semerdu suara beo.
“Ada apa sih, Ma?!” Tak dapat kubendung emosi yang meluap di kepalaku. Dan sebagai pengejawantahannya, aku melontarkan kalimat ketus disertai pelototan mata. Mama sesungguhnya baik. Tapi kadang bikin sebal!
“Zal, dengar kata Mama.” Mama menarik tanganku setengah paksa agar duduk di bibir ranjang.
Aku protes dengan cara memberengutkan bibir. Tak senang diperlakukan layaknya anak kecil. Mama memang begitu. Selalu menganggap kami masih kecil dan kanak-kanak. Idih. Malu-maluin saja!
“Zal, kamu kan sudah besar. Mestinya….” Ragu nada suara Mama terdengar. Dan ia berhenti pada intonasi yang menggantung dan bikin penasaran.
Lha. Baru kudengar seumur hidup Mama menganggapku sudah besar. Telah dewasa. Namun, mengapa baru sekarang? Dan, untuk apa?
Comment